Pada kuliah filsafat Ekonomi di Unhas tahun 2024 lalu, Dosen (Pak Yusri Zamhuri) mengutip perkataan dosennya waktu kuliah di Jepang. Kurang lebih mengatakan begini, ada empat faktor yang menentukan keunggulan suatu bangsa/negara. Keempat elemen itu adalah kekuatan militer, kekuatan politik, kekuatan ekonomi, dan kekuatan nilai, tradisi dan budaya yang di anut suatu bangsa tersebut.
Pada saat itu saya bertanya, manakah yang paling utama di prioritaskan untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi? Kedaulatan bukan mendominasi negara lain.
Sejak 2018, dunia menyaksikan konflik ekonomi terbesar abad ini. Media menyebutnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Bukan sekadar soal ekspor dan impor, perang dagang ini sesungguhnya adalah ekspresi dari persaingan untuk menjadi negara yang mandiri, kuat, dan berpengaruh secara global.
Tak bisa dipungkiri, akar utama dari perang dagang ini adalah ketidakseimbangan hubungan ekonomi. Amerika telah lama mengeluhkan defisit perdagangan yang besar dengan Tiongkok. Masuknya Tiongkok ke WTO pada 2001 mempercepat arus barang murah dari Asia ke pasar Amerika. Menurut The China Shock (Autor et al), industri manufaktur AS terpukul, pekerjaan hilang, dan kawasan industri melemah.
Inilah yang memicu kemarahan politik domestik di AS, yang kemudian dikapitalisasi oleh Donald Trump lewat kebijakan proteksionisme. Tarif-tarif diberlakukan dengan dalih “membela pekerja AS” dan memperbaiki ketimpangan struktural. Namun riset Fajgelbaum et al. (2020) menunjukkan bahwa konsumen AS justru ikut menanggung beban dari kebijakan ini.
Bagi Tiongkok, kekuatan ekonomi adalah modal strategis. Mereka merespons dengan memperkuat investasi dalam negeri, khususnya di sektor teknologi tinggi, serta menjalin kerja sama ekonomi baru dengan negara berkembang melalui Belt and Road Initiative.
Di Amerika, perang dagang menjadi alat untuk mengonsolidasikan dukungan politik domestik. Trump memposisikan dirinya sebagai pemimpin yang berani menghadapi Tiongkok, menghidupkan kembali narasi nasionalisme ekonomi. Hal ini memperkuat posisi politiknya, terutama di kalangan kelas pekerja industri yang terdampak globalisasi.
Sedangkan di Tiongkok, Partai Komunis di bawah Xi Jinping juga menggunakan konflik ini untuk mempertegas arah politik dalam negeri. Mereka mengintensifkan peran negara dalam ekonomi, dan mempromosikan semangat nasionalisme teknologi. Seperti dicatat oleh Nicholas Lardy (2019), reformasi pasar diperlambat, dan perusahaan-perusahaan negara diberi peran lebih besar—sebuah pergeseran dari kebijakan liberalisasi yang sempat digagas di era sebelumnya.
Grafik di atas menunjukkan perbandingan Produksi Industri AS-China, 1990-2024
Selain faktor ekonomi dan politik dalam perang dagang tidak melibatkan senjata, bayang-bayang kekuatan militer tak bisa diabaikan. Bagi Amerika, keunggulan militer menjadi penyangga dominasi global mereka. Kemandirian ekonomi dipandang tidak cukup tanpa dominasi di laut, udara, dan ruang siber.
Tiongkok, di sisi lain, juga terus membangun kekuatan militernya, termasuk di kawasan Laut Tiongkok Selatan yang menjadi jalur perdagangan strategis dunia. Kesiapan militer ini menjadi bagian dari strategi deterrent mereka—menunjukkan bahwa tekanan ekonomi tidak akan membuat mereka tunduk. Dengan kata lain, kekuatan ekonomi dan militer dipandang sebagai dua sisi dari mata uang yang sama.
Tapi, kekuatan militer tidak dengan membeli alutsista bekas yang harganya sangat mahal. Negara yang kuat secara militer kemugnkinan besar dapat membangun kekuatan ekonominya lebih mandiri, jika di pimpin oleh pemimpin yang visioner dan berintegritas. Bukan yang hobi pencitraan masuk gorong-gorong.
Yang tak kalah penting adalah kekuatan nilai dan budaya. Tiongkok, menempatkan nilai-nilai Konfusianisme, kedaulatan nasional, dan kolektivisme sebagai landasan moral pembangunan. Mereka menolak narasi Barat dan menawarkan model alternatif: “pembangunan tanpa liberalisasi penuh”. Pendekatan ini juga menjadi alat diplomasi budaya, di mana Tiongkok berusaha membentuk pengaruhnya lewat kerja sama pendidikan, media, dan kebudayaan.
Di sisi lain, AS dengan ideologi liberalismenya mempromosikan sistem pasar bebas dan demokrasi. Dalam konteks perang dagang, AS melihat Tiongkok sebagai tantangan terhadap “tatanan internasional berbasis aturan” (rules-based order). Oleh karena itu, tekanan ekonomi juga mengandung unsur ideologis.
Tiongkok, di sisi lain, menempatkan nilai-nilai Konfusianisme, kedaulatan nasional, dan kolektivisme sebagai landasan moral pembangunan. Mereka menolak narasi Barat dan menawarkan model alternatif: “pembangunan tanpa liberalisasi penuh”. Pendekatan ini juga menjadi alat diplomasi budaya, di mana Tiongkok berusaha membentuk pengaruhnya lewat kerja sama pendidikan, media, dan kebudayaan.
Perang dagang ini bukan hanya tentang dua negara, tapi juga tentang bentuk baru globalisasi. Dunia menjadi saksi bahwa sistem pasar bebas sepenuhnya tak lagi dianggap ideal. Negara-negara kini lebih berhati-hati, memperkuat sektor strategis, dan membatasi ketergantungan pada mitra dagang tunggal.
Kesepakatan Phase One pada 2020 adalah langkah damai sementara. Tapi seperti dicatat Chad Bown (2020), target pembelian Tiongkok terhadap produk AS tidak tercapai sepenuhnya. Visualisasi perkembangan produksi industri kedua negara dapat dilihat di https://www.dataaksi.id/2025/
Perang dagang AS–Tiongkok adalah cerminan dari pertarungan kemandirian dua negara yang sama-sama ingin menentukan arah masa depan dunia. Empat faktor kunci—militer, politik, ekonomi, dan budaya—menjadi medan tempur sekaligus pertahanan masing-masing pihak.
Di era global yang semakin kompleks, kemandirian bukan berarti menutup diri, tetapi membangun ketahanan dalam berbagai bidang. Seperti yang disampaikan dalam dokumen pertahanan nasional dan literatur strategis, kekuatan ekonomi saja tidak cukup tanpa sokongan politik yang stabil, militer yang disegani, dan nilai-nilai budaya yang kuat. Perang dagang ini mungkin belum usai, tapi pelajaran utamanya sudah jelas: dalam dunia multipolar, hanya negara yang mampu menyeimbangkan keempat pilar itulah yang bisa benar-benar mandiri dan berdaulat, wallahu a’lam bisshawwab.