DATA SAINS UNTUK KEBIJAKAN PUBLIK

Kebijakan publik merupakan sebuah proses politik dimana pemerintah memutuskan untuk melakukan sesuatu atau tidak sama sekali (Dye, 2005) . 


Di dunia yang semakin terpikat oleh peluang dan tantangan kecerdasan buatan (AI), telah terjadi lonjakan pembentukan komite, forum, dan konferensi yang didedikasikan untuk tata kelola AI. Platform-platform ini, meskipun penting, sering kali mengabaikan pilar fundamental: peran tata kelola data. 

Fokus saat ini pada tata kelola AI, dengan berbagai implikasi etika, hukum, dan sosialnya, cenderung mengabaikan fakta bahwa tata kelola AI yang efektif, pada intinya, bergantung pada prinsip-prinsip dan praktik-praktik tata kelola data. Kelalaian ini telah menghasilkan pendekatan yang terfragmentasi, yang mengarah pada skenario di mana data dan komunitas AI beroperasi secara terpisah, sering kali tidak menyadari sinergi penting yang seharusnya ada di antara keduanya.

Berikut persentase tentang, Transforming Government by Data Driven Policy through the use of Artificial Intelligence.

Keterbatasan kapasitas birokrasi publik dalam merespons kompleksitas permasalahan yang ada di tengah masyarakat dewasa ini sering kali disebabkan oleh kurangnya keakuratan data dan informasi yang diperoleh ketika proses perumusan kebijakan, sehingga seringkali sebuah kebijakan menjadi tidak efektif dalam menjawab kebutuhan masyarakat. 

“Sebuah kebijakan publik harus berbasis data yang akurat, hal ini sebagai upaya mendukung seorang analis kebijakan untuk memetakan masalah secara konkret dan nyata yang kemudian dapat kembangkan menjadi sebuah rekomendasi yang inovatif dan penuh dengan terobosan.  Maka seorang analis kebijakan seharusnya dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang inovatif, out of the box, dan mampu menjadi jalan keluar bagi permasalahan sosial di tengah masyarakat”. 

Pelibatan masyarakat tidaklah cukup dalam perumusan kebijakan. Ekspektasi masyarakat ke pemerintah semakin tinggi dengan semakin kompleksnya persoalan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seringkali kebijakan yang diambil pemerintah bak “jauh panggang dari api”.    Lazim terjadi kebijakan atau program pemerintah tidak efektif dalam merespon kompleksitas dinamika persoalan sosial atau bahkan tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Salah satu faktor utama yang melatarbelakangi kegagalan pemerintah dalam merespon persoalan, karena kebijakan yang diambil tidak berdasarkan data kejadian sebenarnya di lapangan. Seringkali kebijakan diambil semata berdasarkan asumsi dangkal, tanpa dukungan bukti atau landasan penelitian yang valid serta metodologi yang sahih. 

Sanderson (2002) berpendapat bahwa Pemerintah Inggris senantiasa melibatkan ilmuan sosial dalam perumusan kebijakan berbasis data sejak 1960an. Saat itu para ilmuan mendirikan lembaga Social Science Research Council sebagai sebuah lembaga think thank yang senantiasa melakukan studi untuk mendukung pengambilan kebijakan pemerintah. 

Secara teoritik, kebijakan berbasis data atau bukti memiliki dua manfaat utama yaitu meningkatkan akuntabilitas pemerintah dan menjadi proses pembelajaran (Sanderson, 2002). Manfaat pertama terkait dengan upaya bersama untuk mendorong pemerintah lebih akuntabel dalam mengambil kebijakan. Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah selalu dibarengi dengan dukungan anggaran untuk mendukung proses implementasi, monitoring dan evaluasinya. Tentu kita tidak menginginkan kebijakan tanpa berbasis bukti berujung pada penggunaan dana publik yang sia-sia. Untuk itu, pengambilan kebijakan yang berdasarkan pada data yang reliable tentu menjadi dasar argumen yang kuat dan membuat pemerintah lebih akuntabel. Manfaat kedua dari kebijakan berbasis bukti adalah terjadinya proses pembelajaran para pengambil kebijakan. Data menunjukkan kondisi riil permasalahan dan menjadi titik kunci dalam melakukan intervensi. Ketersediaan data menjadi alat penerang dalam proses pembelajaran semua pengambil kebijakan untuk menyadari kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki sehingga memudahkan untuk merumuskan strategi yang efektif. 

Studi yang dilakukan Young (2005)  mengidentifikasi empat masalah utama aplikasi kebijakan berbasis bukti di negara berkembang. Pertama adalah kontestasi politik yang tidak mendukung. Seringkali pengambil kebijakan memiliki pertimbangan politis tertentu yang memposisikan mereka mengabaikan data. Kedua, hasil riset yang tidak sesuai standar karena dukungan dana yang kurang. Selain itu, tidak jarang juga para akademisi dan peneliti merasa di menara gading yang memposisikan mereka enggan mengkomunikasikan hasil penelitiannya dengan pengambil kebijakan.   Para ilmuan lebih memilih menerbitkan hasil penelitian di jurnal ilmiah internasional dengan bahasa yang rumit dipahami atau bahkan tidak pernah dibaca oleh para pengambil kebijakan. Ketiga, intervensi donor riset internasional yang terlalu besar dan cenderung menafikan konteks lokal. Terakhir, keterlibatan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam advokasi kebijakan melalui riset kadang kala memposisikan mereka berseberangan dengan agenda pemerintah. Dengan demikian, data OMS seringkali diabaikan dalam perumusan kebijakan.

Referensi:

  • https://lan.go.id/?p=5117
  • https://baktinews.bakti.or.id/artikel/perumusan-kebijakan-kolaboratif-berbasis-data-sebuah-catatan-awal
  • https://medium.com/data-policy/interwoven-realms-data-governance-as-the-bedrock-for-ai-governance-ffd56a6a4543
  • https://www.government-transformation.com/data/essential-guide-data-driven-government
  • https://dataforpolicy.org/data-for-policy-2024/
  • https://ethz.ch/content/dam/ethz/main/news/eth-news/2021/03/210324_medienmitteilung_datenwissenschaft/2021-0641-E.pdf