KAMPUS POLITIK ATAU POLITIK KAMPUS?

KAMPUS POLITIK ATAU POLITIK KAMPUS? 


Syamsu Alam 

Di dalam kelas sebuah SD inpres, dua murid ditanya gurunya. Guru: A, kamu mau jadi apa? A: Jadi dosen !, Guru: Mengapa?, A: Supaya bisa jadi professor. Guru: Ok. B kamu mau jadi apa?, B: Politisi, Guru: Mengapa? Supaya tidak sengsara seperti A dan tetap bakal jadi professor (Cerita fiksi, Mati Ketawa Cara profesor  NKRI, karya Prof. Arief Anshory)

Sependek pengetahuan saya, ada 11 pejabat publik yang telah dianugerahi gelar Profesor Kehormatan. Mantan Presiden Megawati (unhan RI), Mantan presiden Susilo Bambang Yudonoyo (Unhan RI-2014), Terawan Agus Putranto (Unhan RI, 2022), Muhammad Syarifuddin (UNDIP, 2021), Zainudin Amali (UNNES, 2022), Siti Nurbaya Bakar (UB, 222), Fahmi Idris (UNP, 2022), Edi Slamet Irianto (Unissula, 2022), Syahrul Yasin Limpo (UNHAS, 2022), Jafar Hafsah (UNM,2022) dan  Nurdin Halid (UNM, 2023).

Dasar penetapan pemberian profesor  kehormatan adalah Permendikbudristek nomor 38 tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan. Deretan nama-nama yang akan bergelar professor kehormatan akan bertambah. Meskipun Masa jabatan Profesor Kehormatan paling singkat 3 tahun dan paling lama 5 tahun dapat diperpanjang dengan mempertimbangkan kinerja dan kontribusi dalam melaksanakan Tridharma dan batas usia paling tinggi 70 (tujuh puluh) tahun.

Sebelas orang di atas dominan politis. Penetapannya tentu alot di Senat Akademik di kampus masing-masing. Universitas Gajah Mada (UGM) adalah kampus yang paling tegas menolak pemberian gelar tersebut, padahal prestasi dan kepakaran Perry Warjiyo (Gubernur BI) sangat mumpuni. Bagaimana civitas akademika kampus-kampus lain? Bagaimana atmosfer akademik, apaka kritis pada politisi atau menyemai praktik-praktik politik sumbu pendek di kampus?

Kampus: Benteng Akal Sehat dan Peradaban

Alwi Rahman menilai Kampus atau perguruan tinggi adalah benteng terakhir peradaban. Bisa juga kita sebut ia cerminan keadaban suatu masyarakat. Kata Prof Sigit, Universitas adalah benteng akal sehat dan keberadaban. Nilai dan tradisi yang dikembangkan adalah pemikiran yang jernih, etis, dan beradab; pertaruhannya adalah kebenaran, kejujuran dan kemaslahatan.

Sebagai orang yang pernah merasakan kuliah di kampus besar di Makassar, UNM dan UNHAS. Kedua kampus itu terasa perbedaannya memperlakukan mahasiswa atau akademisi yang kritis. Kultur kampus lain, bisa dipelajri dari oknum dan alumninya. Pengalaman studi banding dan Short Course di kampus lain menunjukkan kampus unggul adalah yang tradisi akademiknya kuat, tradisi yang menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat lestari tanpa harus takut kehilangan rezeki dari TYME. 

Prof Sigit (UGM) menganggap pengangkatan profesor kehormatan memuat kepentingan pragmatis individu maupun kelompok. Mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan tentu mengkhianati pengorbanan para dosen menggapai guru besar. Para dosen di perguruan tinggi harus berjuang keras puluhan tahun untuk mencapai posisi profesor dengan berbagai beban kinerja, belitan regulasi dan birokrasi.

Apabila otoritas perguruan tinggi memihak pada kepentingan pragmatis maka kebenaran dan akal sehat akan tergadaikan. Tentu juga merendahkan martabat perguruan tinggi dan sivitas yang ada. Pengangkatan profesor kehormatan yang tak berkontribusi pada pencapaian misi utama perguruan tinggi, justru merendahkan martabat dan reputasi, merusak ekosistem, dan tata kelola PT. 

Politik Kampus

Sedari dulu politik dan kampus selalu hadir dalam perbincangan di ruang publik. Evolusinya juga semakin kompleks. Mengurainya seperti mencari jerami dalam tumpukan jarum. Masalahnya rumit dan pelik dengan sejumlah variabel yang mempengaruhinya.

UNM dan UNHAS dua tahun terakhir ikutan tren memberikan gelar kehormatan pada tokoh politisi. SYL di Unhas dan NH di UNM. Keduanya sebenarnya adalah 'rival' politik.  Salah satu perbedaannya adalah polemik penolakan anggota Senat Universitas. SA Unahs menolak, Di UNM nyaris tak ada riak, kecuali beberapa dosen UNM di sudut-sudut pojokan dan warung kopi yang kaget dan bersikap kritis bahkan tidak setuju. Dua tahun polemik pemberian gelar pada SYL dan Senat tetap mangajukan ketidak sepakatannya, namun ‘hak veto’ Rektor Unhas tetap memberikan gelar pada SYL.

Kekuasaan memang sangat membuai manusia karena pada dasarnya menurut Nietzsche manusia tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan karena keinginan untuk berkuasa ada pada tiap individu. Bicara kekuasaan tidak hanya pada ranah makro – institusi politik semata. Pada skala mikro juga ada. Relasi kuasa dalam diri, keluarga, komunitas, dan lain-lain.

Ketika praktik kekuasaan mewujud secara totaliter maka kebebasan dan kebahagian terancam pada setiap individu di bawah institusi. Tan Malaka (1926) mengingatkan “Seluruh insan kampus seperti dosen dan mahasiswa berhak memperoleh ruang dan kebebasan untuk mengembangkan, mengaplikasikan ilmu pengetahuan serta mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat supaya tidak ditindas oleh rezim kekuasaan”.

Sepertinya sivitas kampus membutuhkan penting menggiatkan kembali kajian-kajian kritis pada sindikasi-sindikasi skala mikro yang terdesentralisasi, sehingga kekuasaan yang sentrallistik tidak semena-mena pada hak kebebasan berpikir dan berpendapat setiap individu.

Politik adalah tindakan. Setiap tindakan sadar selalu di awali proses berpikir. Politik adalah cara untuk mencapai tujuan. Berdasarkan definisi ini, sesungguhnya semua orang berpolitik. Tentu dengan ideologi dan nilai yang dianutnya. 

Sebelum berbondong-bondong mengikuti tren pemberian gelar profesor kehormatan, perguruan tinggi Indonesia perlu fokus untuk membangun mutu, keunggulan, serta program studi yang unik dengan cara-cara bermartabat.

Oxford University Sejak berdiri pada 1096, konsisten berkomitmen untuk unggul di setiap bidang pengajaran dan penelitian. Meski punya sejarah sebagai universitas bagi bangsawan Inggris, Oxford modern telah menginisiasi transformasi jangka panjang untuk mewujudkan budaya yang lebih inklusif, misal dengan menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang.

Mungkin membandingkan kampus kita dengan Oxford, seperti membandingkan langit dan sumur. Namun setidaknya memberikan pencerahan bahwa unggul tidak direngkuh dengan cara-cara instan dan jangka pendek, sebagaimana gelar profesor kehormatan. Wallahu a’lam bissawab.

Dimuat di Harian Tribun Timur Makassar.