PEMUDA ‘LATAH DIGITAL’ DAN SMART CITY

PEMUDA ‘LATAH DIGITAL’ DAN SMART CITY
Syamsu Alam *)

HARI SUMPAH PEMUDA baru saja dirayakan dengan beragam cara. Dari seremoni upacara dengan fitur batik khas Aparat Sipil Negara sampai pakain khas Nusantara. Perayaan di media sosial dengan beragam konten Sumpah Pemuda 28 Oktober tak kalah heboh. Mulai dari yang heroik, narsis, kritis, sampai hanya sekadar lelucon sarkas. 

Ada banyak cara, metode, dan ekspresi perayaan Hari Sumpah Pemuda. Misalnya yang kusimak pagi tadi adalah bisakah memberikan sumpah serapah pada pemuda yang membuang sampah sembarang tempat. ‘Sumpah saya masih Muda’, dan lain-lain.

Sebenarnya apa itu pemuda? Siap sebenarnya yang berhak disebut pemuda? Dan peran apa yang dapat dilakukan di tengah era digital dan maraknya ‘latah digitalisasi’? Benarkah usia pemuda rentang 16 tahun sampai 30 tahun benar-benar muda secara hakiki? Pemuda akan menghuni banyak kota di Indonesia, bagaimana Kota berbenah memanfaatkan bonus demografi yang tidak cukup hanya dengan slogan.


Tugas Kaum Muda

Jika kita perhatikan geliat pemuda dan organisasi pemuda di Indonesia lumayan progresif. Sampai ada organisasi yang diangap pemuda, terpecah menjadi dua atau tiga kepengurusan. Entah apa sebabnya, dugaan saya karena perbedaan pilihan politik para elit atau donator elitnya, entahlah.

Berdasarkan UU RI Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan dan Perpres RI Nomor 66 Tahun 2017 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Kepemudaan, mendefinisikan Pemuda  adalah  warga  negara  Indonesia  yang memasuki   periode   penting   pertumbuhan   dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun.

Jika menggunakan definisi di atas maka banyak organisasi ‘tidak layak’ menyandang organisasi pemuda, termasuk organisasi yang saya tekuni saat ini, Pemuda ICMI (sebelumnya Masika ICMI).

Berbeda dengan UU di atas Soe Hok Gie mengatakan Generasi kita (muda) ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua,….. Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia. 

Siapa yang dimaksud generasi tua, siapa kaum muda? Apa saja karakteristiknya?

Henry Ford (pendiri pabrikan mobil Ford Motor Company) berpendapat tentang orang muda atau tua. Ia mengatakan ‘Siapapun yang berhenti belajar adalah kaum tua, baik di dua puluh atau delapan puluh. Siapapun yang terus belajar tetap muda. Hal terbesar dalam hidup adalah untuk menjaga pikiran Anda tetap muda.

Jadi jika disimpulkan berdasarkan dua pandangan tokoh di atas Gie dan Henry Ford Tugas utama ‘kaum muda’ adalah belajar dan ‘memberantas generasi tua yang mengacau’. Nah, ukuran belajar dan membarantas itu apa?

Belajar Sepanjang Masa 

Berdasarkan data sejarah Peran pemuda begitu vital dalam proses menuju Indonesia merdeka. Pemuda memegang peran penting dalam masa perjuangan melawan penjajahan, baik melalui perlawanan fisik juga perlawanan diplomatik. Kebangkitan pemuda berawal sejak mereka mulai berorganisasi pada era kebangkitan nasional pada 1908.

Buku Indonesia dalam Arus Sejarah (2013) menjelaskan, perubahan radikal yang dilakukan organisasi pemuda mendorong mereka untuk bersatu dan berkumpul dalam satu wadah. Ada banyak tokoh pemuda yang terlibat dalam upaya perumusan Sumpah Pemuda yang intinya, ikrar pemuda Indonesai tentang satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.

Pada saat reformasi  lahir Sumpah Mahasiswa Indonesia yang berbunyi:

"Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan.", 
"Kami mahasiswa bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan.", 
"Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan."

Sekilas terjadi perubahan ‘slogan’. Karena bagi pemuda (mahasiswa), aktor penjajah bukan hanya bangsa lain, tetapi bangsa sendiri. Berarti lumayan ada proses belajar.

Benarlah apa yang dikemukakan Richard Gross (Psikolog) Learning is the process of acquiring new understanding, knowledge, behaviours, skills, values, attitudes, and preferences.

Singkat cerita, belajar semestinya ada proses internalisasi dan eksteriorisasi. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw sebelum berdakwah terbuka di usia 40-an, terlebih dahulu ada proses internalisasi ‘karakter’ yang panjang. Ada proses pembangunan karakter menjadai Al Amin, orang yang dipercaya sebelum berdakwah secara terbuka.

Dromologi Smart City

Bonus Demografi yang sering didengungkan oleh khalayak akan menghuni kota-kota yang ada di Indonesia. Perlombaan mengadopsi digitalisasi dalam pemerintahan yang kita kenal dengan 'Smart City'. Perlombaan mencajadi yang tercepat bukan hanya dialami oleh banyak anak muda labil. Bahkan pemerintah yang mengelola hajat hidup orang banyak pun kerap terjebak didalam perburuan kecepatan.

Sebagaimana yang lazim kita lihat di era saat ini yang mengedepankan prinsip ‘Dromologi’. Prinsip yang mengutamakan kecepatan. Siapa yang tercepat dan terdepan ialah yang terkuat, manusia tidak boleh diam. Semua orang ‘dipaksa’ untuk menjadi yang tercepat. Tercepat mengadopsi teknologi, tercepat mengadopsi ‘metaverse’ dan tercepat dalam segala hal yang bisa dipamer. Seolah-olah hidup adalah perlombaan. Kerap kita merasa terbelakang jika tidak ‘update; dengan istilah-istilah baru, tren baru, gosip terbaru, dan lain-lain.

Pada terbitan artikel saya di tribun timur  sebelumnya tentang Smart City untuk siapa? Saya menyampaikan kritikan dan ‘ketidaksepakatan’ dengan slogan Makassar menjadi Kota Metaverse, Kenapa harus metaverse? Apakah karena ia sesuatu yang trending? Apakah kita Kota Makassar takut dianggap terlambat mengadopsi teknologi terbaru?

Sungguh Smart City bukan hanya sebatas berapa banyak titik CCTV yang dimiliki atau seberapa besar dan canggih command center. Kita membutuhkan konsep smart city lebih sebagai collaboration center yang bisa mengkolaborasikan semua pelayanan bagi masyarakat. Ia harus berkorelasi dengan layanan kebutuhan dasar. Dimana fungsinya memudahkan warga untuk mengurus administrasi kependudukan, memudahkan warga untuk urusan dengan sampah dan kebersihan, memudahkan warga tentang kesehatan dan pendidikan pelayanan dasar.

Kita membutuhkan banyak sumber daya dan sumber data jika ingin sukses dalam manajemen kota ala Smart City. Sudah tersedeiakah fasilitas Open Data? Sudah terintegrasi data-data tersebut dengan layanan publik?. Kita butuh Open Minded sebelum Open Data jika ingin menjadi kota yang terdigitalisasi layanannya. Siapkah kita menghadapi Digitalisasi yang bukan hanya sekadar slogan dan 'latah' pada perkembangan teknologi digital terkini. Atau siap diberantas oleh kaum muda? Salamakki semua anak muda.

*) Ketua Pemuda ICMI Kota Makassar/ Dosen FEB UNM.

Sumber Inspirasi :

- Catatan Desmonstran Soe Hok Gie
- Syamsu Alam, Smart City untuk Siapa?
- Laporan SPBE 
- UU Kepemudaan