KEMANA ISU PERUBAHAN KE-5 UUD 1945 BERLABUH?
Telaah Kecil Asymmetric War
Agaknya, isu amandemen ke-5 UUD 1945 tentang masa jabatan presiden tiga periode, bukanlah sekedar rumor atau bualan semata. Kenapa demikian, bahwa pola asymmetric war (perang asimetris) menengarai hal tersebut justru merupakan skema dan skenario yang hendak digelar. Ini asumsi awal. Masih perlu diuji.
Ya, asymmetric war mengajarkan pola dan urutan langkah guna meraìh apapun, misalnya, dalam hal ini adalah amandemen ke-5 UUD 1945 melalui tiga tahapan yakni: isu - tema/agenda - skema atau disingkat ITS.
Isu disebar guna melihat reaksi serta mempengaruhi publik; kemudian tema digulirkan, selain untuk mempertebal pengaruh (isu) juga dalam rangka menggiring opini. Jika opini (agenda) telah terbentuk kuat di benak publik lalu dianggap lumrah, maka skema pun dihampar atau digelar. Itu urut-urutan lazim dalam pola perang nirmiliter atau asymmetric war.
Nah, membaca pola asimetris di atas pada sebuah peristiwa, contohnya, bisa dimulai dari isu dahulu atau dari skema terlebih dulu. Terserah pembaca.
Pertanyaannya kini: "Jika 'skema'-nya ialah amandemen ke-5 UUD 1945 untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode, lantas --- apa gerangan isu dan agenda?"
Tampaknya peristiwa KLB Demokrat ---menurut hemat penulis--- itulah pintu pertama. Isu pembuka atau istilah kerennya test the water. Melihat reaksi dan gejolak publik atas tebaran isu.
Secara asimetris, peran isu sangatlah urgen. Kenapa demikian, karena apabila publik menolak secara keras, biasanya isu akan ditarik kembali atau dibatalkan. Seperti halnya investasi miras kemarin, misalnya, akibat gelombang penolakan publik relatif kuat maka isu pun dicabut. Tak dilanjut menjadi kebijakan dan/atau program. Akan tetapi, jika publik terlihat adem-adem saja ---menerima--- niscaya 'agenda' pun digulirkan.
Tampaknya, respon publik terhadap isu KLB Demokrat di Sumut hampir tak ada gejolak signifikan. Publik terlihat 'bodo amat'. Ini berbeda dengan isu investasi miras. Gaduh luar biasa. Memang ada reaksi di level akademis soal KLB namun kecil dan elitis. Hanya riak - riak menyoal etika politik, atau dianggap urusan internal partai, ataupun soal hukum karma akibat kiprah masa lalu dst. Jadi, simpulan awal: tak ada gejolak (publik menerima) dengan adanya peristiwa "isu kudeta" di Sumut, bahkan ramai olok-olok nitizen yang sifatnya nyukurin.
Tak lain ialah 'koalisi tunggal partai' di parlemen dalam rangka meloloskan amandemen ke-5 UUD 1945. Mengapa? Karena riil oposisi saat ini hanya tersisa Demokrat dan PKS saja. Lainnya sudah masuk koalisi. Maka untuk meraih kuarom koalisi tunggal dimaksud, Demokrat kudu digoyang ---diakuisisi--- ditarik menjadi koalisi. Besok mungkin PKS yang digoyang, misalnya, atau tetap dibiarkan bila suaranya dianggap kecil.
Memang ada slentingan bahwa 'kudeta' di Sumut terkait hajatan 2024, karena sang calon dari Demokrat sudah meminta restu "mbah"-nya. Tetapi abaikan dulu, lain waktu kita bahas. Sekarang balik lagi ke isu amandemen ke-5.
Permasalahan kini bukan soal amandemen ke-5, ke-6 atau revisi UU dst, akan tetapi --- apakah amandemen tersebut demi Kepentingan Nasional RI (KENARI); atau ada hidden agenda lain; atau jangan-jangan justru menguntungkan Kepentingan Negara Asing (KENARA)?
Geopolitik mencermati, bahwa amandemen sebanyak empat kali terhadap UUD 1945 (1999-2002) bukanlah peristiwa perubahan (konstitusi) lazimnya sesuai amanat reformasi, tetapi ada penumpang gelap bermain cantik lagi senyap. Gilirannya, amandemen lebih menjurus kepada apa yang disebut dengan istilah "kudeta konstitusi".
Lantas, apa indikatornya jika amandemen periode 1999 - 2002 dianggap sebagai kudeta konstitusi?
- Bab IV-nya kosong;
- 89% ayatnya baru;
- Menghapus pasal 6 ayat 1 yang isinya adalah presiden adalah orang Indonesia asli;
- Memberi nama yang sama dengan UUD 45 yang asli, padahal isinya jauh berbeda. Ini dianggap manipulasi dan palsu sehingga banyak yang menyebut UUD 2002;
- Tap MPR mengenai hasil perubahan UUD 45 ini tidak bernomor, padahal semua keputusan penting MPR punya nomor bahkan SK Kepada Desa saja ada nomornya;
- Tap MPR RI No IV tahun 1999 tentang GBHN berlaku untuk periode 1999 - 2004 tidak ada indikasi akan melakukan perubahan UUD 1945. Dengan adanya perubahan pada periode tersebut maka praktis GBHN berubah;
- Kecuali PAN dan PUDI, semua partai lain saat itu seperti PDIP, Golkar, PPP, PBB dll yang ada di MPR tidak pernah mewacanakan perubahan UUD. Mengapa tiba-tiba ada perubahan? Partai - partai tersebut melakukan perubahan UUD 1945 tanpa kongres atau rakernas untuk mendapatkan mandat. Begitu juga fraksi ABRI tidak melalui rapim;
- Akibat dari perubahan UUD 45 maka ada tiga hal prinsip yang sangat merugikan rakyat, yaitu perubahan pasal 1 ayat 2 menyebabkan kedaulatan rakyat diambilalih oleh partai-partai politik;
- Hilangnya kata 'orang-orang Indonesia asli' di pasal 6 membuka peluang imigran bisa menjadi presiden sehingga posisi Bumiputra Indonesia seperti terjajah kembali;
- Penambahan satu ayat pada pasal 33 menyebabkan sistem ekonomi menjadi liberal sehingga melegalkan pencabutan subsidi untuk rakyat (Narasi di atas adalah bunyi Video I Dr Zulkifli S Ekomei yang berjudul: Mengapa Saya Menggugat UUD 1945 Yang Palsu).
- Dari perspektif geopolitik, hakikat amandemen empat kali UUD 1945 ialah pengambilalihan alias perampasan kedaulatan dari tangan rakyat ke genggam para pemilik modal. Inilah yang kerap disebut dengan oligarki oleh Prof Jeffry Winters, poin intinya: "bersatunya kekayaan dan kekuasaan". Kekayaan para pemilik modal bersekutu dengan pemegang kekuasaan. Entah kekuasaan partai politik atau kekuasaan pejabat negara sekaligus pebisnis.
Menyimak uraian Video Kedua dari Dr Zulkifli S Ekomei yang diuplode di Youtube: Mengapa Saya Menggugat UUD 1945 yang Palsu?
Adalah sebagai berikut:
Ya. Salah satu akibat yang paling penting dengan berlakunya UUD 1945 palsu adalah dibegalnya kedaulatan rakyat oleh partai-partai yang kini terbukti bersifat oligarki. Tidak ada satupun produk legislatif yang dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan pemilik modal yang menjadi sandaran hidup partai politik.
Rakyat menjadi tidak berdaulat, apalagi kemudian juga terbukti bahwa UUD 1945 palsu hanya untuk memenuhi pesanan asing, seperti yang disampaikan oleh mantan rektor universitas Gajah Mada Prof Sofian Effendi.
Seperti yang sudah tersebar ke publik --- diawali oleh keraguan Prof Sofian yang ia tulis dalam buku: "Sistem Demokrasi Pancasila," bahwa konsep ekonomi dan konsep politik Pancasila akan terlaksana di Indonesia, sebab untuk mewujudkan itu sangat bergantung tindakan orang Indonesia terhadap UUD 1945 yang sudah diobrak - abrik begitu luar biasa dan melibatkan kekuatan asing.
Dulu, saya menduga --- saat MPR tahun 1999 memutuskan untuk melakukan perubahan terhadap UUD 45 dengan cara amandemen itu sudah melalui kajian para ahli Indonesia, tetapi ternyata hanya di rapat pertama MPR diputuskan akan mengadakan rencana perubahan. Pada rapat - rapat selanjutnya sudah besar sekali pengaruh dari kelompok - kelompok LSM, bahkan LSM luar negeri di dalam rapat-rapat itu, kata Prof Sofian Effendi dalam peluncuran buku "Sistem Demokrasi Pancjsila" di kampus Pascasarjana Univesitas Nasional, Jakarta Selatan (11/3/20).
Ia melanjutkan, dalam rapat-rapat Panitia Ad Hoc (PAH) di MPR juga dihadiri oleh orang - orang yang bukan WNI dan LSM asing National Democratic Institute (NDI), kata Sofian Effendi, membawa uang "berkarung-karung" ke dalam gedung MPR dan membagi - bagi kepada 11 fraksi.
NDI juga membawa konsep UUD terutama pasal tentang HAM, pasal 10 UUD yang diamandemen, lanjut Prof Sofian, itu caplokan dari United Nation Convention Human Right. Jadi, agak aneh UUD kita ini karena bunyinya tidak lagi 'Warga Negara' tetapi 'orang'. Orang lho? Saya ini warga negara, tegas Prof Sofian Effendi.
Ia mempertanyakan, UUD itu mengatur hak dan kewajiban warga negara, atau mengatur hak dan kewajiban dari siapapun orang yang ada di Indonesia?
Oleh sebab itu, Prof Sofian menduga, ini semua memang sengaja diciptakan untuk mengaburkan konsep-konsep tersebut termasuk juga untuk mengaburkan kewenangan pemerintahan dan negara, untuk mengaburkan sistem politik dan ekonomi Indonesia sehingga tidak jelas lagi bahwa ekonomi kita itu ekonomi yang berazaskan kekeluargaan dan berkeadilan sosial karena dimasukkan semangat - semangat individualisme di dalam pasal 3 dan 4, dan demikian juga di dalam sistem sosial sudah dimasuki pasal-pasal itu, tuturnya.
Saya sebagai ilmuwan menduga - duga bahwa ada pihak luar negeri terlibat mengubah UUD itu. Seringnya perjalanan Jogja dan Jakarta, di pesawat --- saya ketemu dengan seorang pimpinan partai. Anak muda yang dulu ketua senat UGM. Saya tanya: "Mas, sebagai ilmuwan hanya bisa menduga - duga. Saya tak bisa menuduh dengan tegas bahwa ada intervensi asing di dalam amandemen UUD kita. Jadi, hanya begitu - begitu saja di antara kawan saya bisa ngomong - ngomong. Tapi, kita tak punya bukti tidak bisa menuduh lho? Kebetulan kita duduk berdekatan, saya tanya".
"Pak, selesai dari UGM -- saya masuk partai politik. Oleh pimpinan partai saya ditugaskan untuk ikut panja PAH I. Dan di situ, dengan mata saya sendiri melihat bagaimana uang berkarung - karung masuk ke Gedung MPR. Dan kemudian, pasal - pasal yang mereka ingin masukkan itu --- dimasukkan," ungkap ketua partai yang mantan Ketua Senat UGM.
Pada intinya, kata Prof Sofian, sidang MPR masa bhakti 1999 - 2002 menetapkan bahwa amandemen UUD 1945 sesuai ketentuan pasal 37. Karena pasal 37 yang diamandemen di tahap ketiga yang sebenarnya disepakati tidak diubah. Namun, sesal Prof Sofian, dalam PAH II, masuk dan diubahnya sehingga MPR itu atau struktur dari kekuasaan negara tidak lagi ada lembaga pemegang pelaksana kedaulatan rakyat karena diubahnya pasal itu. Padahal pada Tahap I dan II masih ada.
Di situ ada 11 fraksi MPR yang menyepakati amandemen UUD dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
- Pertama, tidak mengubah pembukaan UUD;
- Kedua, tidak mengubah NKRI dan bentuk negara;
- Ketiga, amandemen dilakukan dengan cara adendum bukan mengubah teks aslinya.
Mengapa saya mengutip ungkapan Prof Sofian Effendi di atas, kata Dr Zulkifli di ujung videonya, karena sesuai dengan data yang ada di tangan saya tentang keterlibatan asing pada proses kudeta konstitusi UUD 1945 yang akan saya jadikan bukti pada sidang gugatan saya menolak UUD 1945 palsu.
Nah, bagaimana nasib gugatan Dr Zulkifli terhadap praktik UUD palsu?
[Part 4]. Telaah Kecil Asymmetric War
"Hidup adalah pola permainan tentang teknis yang dimainkan oleh dirinya sendiri dan bermuara pada nasib. Demikian pula negara selaku organisme hidup. Ia lahir, berkembang, menyusut dan mati".
Dari paparan terdahulu bisa disimpulkan bahwa ada tiga hal prinsip dalam bernegara yang hilang karena faktor amandemen (empat kali) UUD 1945 pada 1999 - 2002. Dan akibat hilangnya tiga hal prinsip tersebut, selain merugikan rakyat -- secara geopolitik, juga membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Adapun tiga hal tersebut ialah sebagai berikut:
1. Rakyat kini tidak memiliki kedaulatan sebab telah diambilalih oleh partai-partai politik. Ini tersurat pada perubahan pasal 1 ayat 2. Buktinya apa? Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi berubah menjadi lembaga tinggi -- sama/selevel dengan DPR, Presiden, MK dll.
Jika dianalogikan pada tubuh manusia, MPR adalah "otak"-nya. Central of gravity. Titik dimana semua aktivitas bermula serta pusat musyawarah seluruh organ tubuh guna memutus 'sesuatu'. Contoh, ketika kaki digigit semut maka otak akan musyawarah, bagaimana langkah terbaik untuk sang semut tadi. Apakah cukup diusap/disingkirkan tanpa dibunuh; atau disentil; ataupun dipites (dimatikan)?
Tatkala otak (sistem musyawarah) dinihilkan maka yang muncul cuma voting. Dan tidak dapat dipungkiri, selain memakan tempo relatif lama karena melibatkan seluruh organ tubuh, keputusan melalui voting belum tentu benar dan efektif sebab rujukannya hanya suara terbanyak.
Contoh lagi sisi negatif voting. Ketika muncul perdebatan terkait halal - haram, misalnya, jika satu ulama menyebut riba itu haram, sedang empat orang lainnya mengatakan riba itu halal ---karena via mekanisme voting--- hasil akhir pasti: "riba itu halal". Kenapa? Sang ulama sendirian. Ia kalah dalam hal jumlah. Inilah yang tengah berlangsung dalam praktik konstitusi ketika menggunakan UUD palsu.
Sepertinya rakyat tidak hanya dicekoki agenda semata, tetapi digiring pada kondisi ambiguitas secara sistematis bahwa kebenaran identik dengan suara terbanyak.
Secara filosofi, musyawarah mufakat merupakan kearifan lokal warisan leluhur. Ia selaras dengan sila ke-4 Pancasila. Sedang voting merupakan nilai - nilai impor. Mekanisme dan model yang berasal dari luar.
Sesungguhnya inilah pencerabutan nilai-nilai leluhur secara revolusioner diganti dengan nilai asing namun hampir tidak disadari oleh mayoritas anak bangsa sebab berlangsung senyap. Apakah ini yang disebut silent revolution?
2. Dihilangkannya kalimat 'orang-orang Indonesia asli' pada pasal 6, hal tersebut membuka peluang imigran menjadi presiden. Ini bukan rasisme. Jangan didangkalkan menjadi isu hilir. Ini masalah hulu. Kenapa demikian, karena penghilangan kata "asli" berpotensi terhadap bumiputra (seakan-akan) terjajah kembali.
Ada beberapa contoh peristiwa. Termarginalnya kaum Aborigin di Australia, misalnya, atau terpinggirnya suku Indian di Amerika, ataupun orang Melayu yang kini terdepak di Singapura -- itu bukan bualan dan cerita kosong. Istilahnya Absentee of Lord. Tuan tanah yang tidak berpijak di tanahnya sendiri. Gilirannya, pribumi justru (seolah-olah) menjadi tamu di negeri sendiri.
Pengalaman ialah guru terbaik. Dan ia tidak harus dialami. Cukup dengan mendengar dan melihat pengalaman orang lain, lalu dipetik hikmahnya.
Kejadian di NTT memberi isyarat, jangankan imigran, sedang WNA saja bisa lolos menjadi Bupati dan bahkan sebelumnya, ada WNA pernah duduk sebagai pejabat negara selevel Wamen. Mengapa? Muara penyebab tidak lain dan tak bukan karena praktik UUD 1945 palsu.
Ada kata-kata bijak: "Jangan biarkan penyimpangan sekecil apapun pada konstitusi, sebab jika dibiarkan maka penyimpangan semakin kompetitif dan akumulatif";
3. Terdapat penambahan satu ayat pada pasal 33 menyebabkan sistem ekonomi menjadi liberal sehingga melegalkan pencabutan subsidi untuk rakyat.
Dalam materi ajar geopolitik di Lemhannas RI (2016) diuraikan, sekurang - kurangnya ada 12 UU terkait pengelolaan SDA dan lingkungan yang kurang konsisten dalam substansi, khususnya masa depan pengelolaan, antara lain meliputi UU No 11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No 31/2004 tentang Perikanan dan lain - lain. Hampir semua UU mengacu pada pasal 33, tetapi orientasinya saling berbeda.
Berdasar UU tersebut, model pengelolaan cenderung bermuara ke swasta, maka kerusakan dan habisnya sumber daya hanya soal waktu. Masing - masing sektor juga masih memiliki pandangan berbeda tentang istilah dan pemanfaatan sumber daya.
Belum lagi tentang Omnibus Law yang sempat kontroversi di publik. Memang belum ada kajian resmi terhadap UU tersebut yang konon ---menurut beberapa pengamat--- cenderung ultraliberalisme karena membolehkan membakar hutan demi membuka lahan. Itu salah satu contoh.
Penulis teringat pandangan khusus Letjen TNI (Pur) Rais Abin (10/11/20) tentang Amandemen UUD 1945 di Era Reformasi. Inti pandangannya sebagai berikut:
Pertama, bahwa tindakan Orde Reformasi terhadap UUD 1945 seolah - olah mendurhakai bapak-bapak bangsa penciptanya;
Kedua, para bapak bangsa telah memberikan hidupnya bagi kejayaan bangsa. Mereka adalah insan - insan 24 karat yang sulit dicari bandingannya di kalangan Orde Reformasi. Mereka pun tentu memahami ketidaksempurnaan ciptaannya, karena hanya perubahanlah yang abadi;
Ketiga, alangkah baiknya jika penyempurnaan dilakukan dengan beradab, tanpa merusak naskah asli yang bersama proklamasi menjadi genderang men-JAYA-kan bangsa;
Keempat, kiranya koreksi dilakukan dengan adendum - adendum penyempurnaan yang dikaitkan dengan setiap pasal UUD yang dianggap perlu, sehingga kemurnian UUD asli tetap terpelihara;
Kelima, kembali kepada istilah pendurhakaan, saya sangat berpegang kepada adagium bahwa setiap pendurhakaan akan membawa aib;
Keenam, aib akan menuntut kebenaran yang hakiki kepada para penanggung jawabnya. Semoga Orde Reformasi tidak menjadi Orde Deformasi.
Pertanyaannya ialah: "Siapa bertanggung jawab atas munculnya berbagai 'aib' bangsa akibat operasional UUD 1945 yang palsu?"
[Part 5] KEMANA ISU PERUBAHAN KE-5 UUD 1945 BERLABUH?
Telaah Kecil Asymmetric War
Sesuai pandangan Letjen TNI (Purn) Rais Abin ---almarhum--- bahwa pendurhakaan terhadap founding fathers melalui kudeta konstitusi akan menuai aib. Dan aib, kata beliau, akan menuntut kebenaran hakiki kepada penanggung jawabnya.
Menurut KBBI, aib adalah malu; cela; noda; salah; keliru dll. Retorika yang muncul terkait aib akibat pendurhakaan segelintir oknum anak bangsa terhadap founding fathers karena telah pengubahan teks asli UUD 1945, misalnya:
- Apakah tidak keliru (kelola), negeri kaya raya namun mayoritas rakyatnya masih miskin;
- Apakah tidak tercela, pewaris ras unggul dan dianggap nenek moyang bangsa-bangsa (kata Arysio Santos dan Steppen Openheimer), tetapi justru menjadi bangsa pecundang (membebek kepada bangsa luar);
- Apakah tidak malu, negeri dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, tetapi impor garam dan ikan;
- Apakah tidak salah, negeri agraris dengan dua musim serta bercurah hujan tinggi tetapi impor kedelai, cabe, bawang, buah dan holtikultura lain;
- Apakah bukan noda, jika harta karun di halaman pekarangan sendiri diserahkan kepada asing. Lantas, siapa bertanggung jawab atas maraknya berbagai mafia? Entah mafia migas, mafia impor, mafia kasus dan mafia - mafia lain?
Pertanyaan mendasar, mengapa kita selalu merusak peninggalan leluhur yang sudah baik hanya karena merasa lebih pandai dari para pendahulu, bahkan JT cs yang terlibat kudeta konstitusi menyebut dirinya sebagai "The 2nd Founding Fathers".
Menurut Alfred T Mahan (1840 - 1914), bahwa Indonesia memiliki daya tawar kuat di panggung global berupa checkpoint dalam pengendalian lalu lintas laut yang melewati sealanes of comunication (SLOC) dan pengendalian lalu lintas udara di atasnya.
SLOC adalah jalur pelayaran yang secara politik dan ekonomi sangat strategis karena menyangkut kelangsungan hidup berbagai negara. Posisi Indonesia menjadi rawan pada satu sisi, tetapi sangat strategis di sisi lain, kenapa? Karena semua SLOC vital yang berada di antara Samudra Hindia dan Lautan Pasifik melewati perairan Indonesia.
Ada tujuh selat strategis di dunia, empat di antaranya ada di (perairan) kedaulatan Indonesia. Seperti dikatakan oleh Mahan, bargaining power Indonesia sangat kuat di panggung global. Barang siapa menguasai SLOC dapat menentukan pasar, sebaliknya -- gangguan terhadap SLOC akan mempengaruhi kondisi pasar. Itu clue geopolitik.
Sekali-sekali, coba tutup Selat Lombok atau Selat Sunda untuk keperluan latihan gabungan TNI-Polri guna menanggulangi illegal fishing, misalnya, niscaya Australia bakal menjerit karena jalur ekspor impornya tersumbat.
Sekali-sekali, ajukan konsep ke PBB untuk setiap lalu lalang kapal di selat dalam perairan Indonesia dikenakan "fee" dan wajib bayar pakai rupiah. Apa tidak bakal heboh dunia? Syukur-syukur bisa disetujui, supaya rupiah diburu oleh berbagai negara pelintas ALKI, dan nilai rupiah niscaya tidak akan melorot.
Dulu, konsepsi Deklarasi Djuanda 1957 juga dianggap "gila" dan mustahil, tetapi toch sekian tahun kemudian disetujui PBB bahkan membidani UNCLOS 1982 di tingkat global.
Ya. Sekali-sekali.
Sekali-sekali itu tidak setiap kali, itu hanya test case geopolitik (dan geostrategi) kita punya yang selama ini "ditidurkan" berbagai rezim (sistem dan aturan).
Balik lagi ke UUD. Nah, dengan praktik operasional UUD 1945 yang palsu, bangsa ini ibarat menjamu tamu yang datang -- jamuan makan dihabiskan para tamu, sedang tuan rumah justru dapat sisa-sisa. Lebih ironi lagi, tuan rumah tidak mengusirnya malah mempersilahkan masuk kamar untuk "meniduri" istrinya. Ini sekedar permisalan atas berbagai hal yang terjadi, termasuk kebijakan mengizinkan investor asing berburu harta karun di bawah laut Indonesia. Ya, itu tadi -- kamar pun diserahkan kepada tamu!
Usulan PDIP agar GBHN dihidupkan kembali namun dengan terminologi baru yaitu PNSB (Pembangunan Nasional Semesta Berencana). No problem.
"Ganti pimpinan, ganti visi. Lama-lama saya berpikir, Indonesia senang dansa. Kapan benar lima tahun, dia maju. Kapan kurang benar, dia mundur lagi," ujar Mega, "Maju mundur seperti tangan saya mungkin masih baik. Tapi, maju selangkah seperti poco-poco, lalu mundur sepuluh langkah. Itukah yang Indonesia inginkan?" Megawati beretorika.
Tampaknya, usulan PDIP dalam rakernas disambut oleh Presiden Jokowi. Gagasan PDIP tentang PNSB ---GBHN versi baru--- berisi rencana dan cita-cita besar Indonesia.
"Apa yang akan kita kerjakan 10 tahun, 25, 50 tahun mendatang, apa mimpi-mimpi dan rencana besar kita 100 tahun yang akan datang sudah harus mulai dirancang," kata Jokowi di rakernas PDIP. "Sehingga semua harus punya panduan. Negara ini punya haluan kemana negara akan dibawa. Oleh sebab itu, pembangunan nasional semesta berencana (GBHN versi baru) menjadi pe er kita dalam mengarungi pembangunan 5, 10, 25, 50, 100 tahun kedepan agar arah pembangunan jelas", tambah Jokowi.
Jadi, entah GBHN atau PNSB istilahnya, ia adalah produk lembaga tertinggi, bukannya lembaga tinggi seperti MPR produk reformasi.
Pertanyaan selidik muncul: "Apakah MPR selaku penjelmaan rakyat dan sebagai lembaga tertinggi negara bakal dihidupkan kembali sebagaimana PDIP hendak menghidupkan GBHN?"
KEMANA ISU PERUBAHAN KE-5 UUD 1945 BERLABUH? (Bag-6)
Telaah Kecil Asymmetric War
GBHN adalah sistem politik yang tidak terpisah dengan MPR. Ya, sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang kekuasaan tertinggi di NKRI -- berhimpun seluruh elemen bangsa guna merumuskan politik rakyat. Kenapa demikian, doeloe -- pada sidang ke-2 BPUPKI, usai Panitia Kecil (perancang UUD) mengkaji berbagai konstitusi negara di dunia, akhirnya BPUPKI memutuskan sistem sendiri dalam ketatanegaraan. Tidak mengadopsi atau meng-copy sistem negara lain.
Waktu itu, sistem presidensial ala USA yang cukup populer, namun ditolak Panitia Kecil; juga sistem parlementer ala Inggris ditolak oleh sidang. Kemudian Panitia Kecil menciptakan sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR dirancang sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sistem ini merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat.
Dan perlu digaris - bawahi bahwa kedaulatan rakyat di sini bukanlah kedaulatan individu (one man one vote), tetapi kedaulatan dalam makna jamak. Kedaulatan yang di dalamnya terdapat beragam suku, agama, golongan, ras dll dalam koridor Bhinneka Tunggal Ika.
Di MPR, seluruh rakyat melalui wakil - wakilnya berkumpul dan/atau dikumpulkan untuk musyawarah guna merumuskan haluan negara (GBHN); memilih presiden dan meminta pertanggungjawaban presiden/wakil; serta membuat dan mengubah UUD. Itulah politik rakyat.
Sebagai lembaga tertinggi, MPR tidak bersidang setiap saat atau setiap tahun, namun sekurang - kurangnya sekali dalam lima tahun.
Sesungguhnya MPR bukanlah lembaga politik seperti halnya presiden (eksekutif), MA (yudikatif), DPR (legeslatif) dll melainkan 'sumber kekuasaan' bagi lembaga - lembaga (politik) tinggi di bawahnya. Mengapa? Karena MPR merupakan lembaga penelor mandat atau amanah -- representasi dari kedaulatan rakyat.
Lembaga tinggi di bawah MPR itu bekerja setiap hari - setiap saat sesuai dengan haluan negara yang telah diamanahkan kepadanya, sedangkan MPR bekerja tidak setiap hari.
Keanggotaan MPR relatif besar terdiri atas anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan. Karenanya, ia bersidang lima tahun sekali; atau ketika ada situasi tertentu -- Ketua MPR memanggil anggota untuk bersidang (sidang istimewa, contohnya).
Maka, ketika pasal 1 ayat 2: "Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR" diubah isinya/diamandemen menjadi: "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD" -- itulah sejatinya silent revolution. Inilah kudeta konstitusi. Mengapa? Karena kedaulatan rakyat telah berpindah dari tangan rakyat ke partai politik.
Pada gilirannya, MPR berubah menjadi lembaga tinggi, sama - sederajat dengan DPR, presiden, MA dst. Dan sejak saat itulah, (sistem) bangunan NKRI yang dibuat founding fathers porak - poranda.
Dalam sistem presidensial versi UUD palsu, contohnya, kedaulatan menjadi tidak jelas karena bersifat individu dengan memilih langsung presiden dan kepala daerah secara one man one vote. Tren yang muncul sebagai konsekuensi one man one vote ialah presiden menjalankan 'politiknya sendiri' yang kental diwarnai kepentingan partai pengusung, terutama kepentingan pemilik modal yang niscaya "bermain" di masa pemilu presiden. Akhirnya, (seolah-olah) wajar bila presiden tidak menjalankan politik rakyat (GBHN) apabila berbasis UUD 1945 palsu.
Dalam sistem MPR pada UUD asli yang lahir 18 Agustus 1945, presiden tidak boleh menjalankan politiknya sendiri melainkan harus menjalankan 'politik rakyat' sebagaimana tertuang dalam GBHN. Artinya, jika ia menyimpang dari GBHN maka MPR dapat meminta pertanggungjawaban kepada presiden selaku mandataris.
Dan melalui sistem ini pula, DPR punya parameter pengawasan dalam pelaksanaan GBHN.
Pada gilirannya, praktik UUD 1945 palsu membidani apa yang disebut dengan istilah "konstitusi banci". Apa itu? Ada beberapa indikasi kenapa UUD palsu membidani konstitusi banci, antara lain:
- Negara kesatuan kok mempunyai senator (anggota DPD) sebagaimana praktik konstitusi di negara federal;
- Sistem presidensial namun terdapat mekanisme fit and proper test bagi para pembantu presiden;
- Otda sebagai bentuk halus federal telah menciptakan 'raja-raja kecil' di daerah. Mereka kurang patuh kepada gubernur ataupun presiden dengan alasan selain dipilih langsung oleh rakyat, juga menganggap bukan "anak buah"-nya. Apalagi jika tidak berasal dari satu partai;
- Tentang maraknya korupsi. Ya. Seandainya jumlah pelaku korupsi hanya hitungan jari -- mungkin itu soal moral pejabatnya. Tetapi, ketika sudah ratusan kepala daerah dan pejabat negara terjerat kasus korupsi -- niscaya ada yang salah dalam sistem konstitusi. Makanya ada asumsi berkembang, bahwa korupsi di Indonesia diciptakan oleh sistem.
Pertanyaannya ialah: "Sampai kapan konstitusi banci ini terus dijalankan, sedang aib bangsa semakin kompetitif serta akumulatif; adakah rujukan untuk kaji ulang amanden UUD palsu dan peristiwa mana bisa dijadikan preseden?"
The Global Future Institute