Pemerintah Daerah dan Ilusi Pembangunan Berkelanjutan


Syamsu Alam *)

Reformasi di korupsi. Demikian 'tagline' yang disuarakan para pegiat demokrasi sejati. Era reformasi memberikan perubahan paradigma secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma dapat dilaksanakan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Mungkinkah perubahan paradigma itu diikuti oleh para aktor pembangunan?



Mulai dari UU no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU no. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang telah diubah menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Terakhir UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dikeluarkan untuk menggantikan UU sebelumnya.

Diberlakukanya undang-undang di atas dapat memberikan peluang bagi daerah untuk menggali potensi lokal demi terwujudnya kemandirian keuangan daerah, sekaligus mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang berkelanjutan, benarkah demikian?

Media online dan media sosial bisa menjadi input bagi para anggota Dewan (Prov/Kab/Kota) di Sulsel. Ada banyak laporan warga yang mudah kita monitoring dan tindak lanjuti. Khususnya proyek fasilitas publik. Misalnya, beredarnya foto proyek pemecah ombak di Kab. Takalar, Aspal yang tipis di Kab. Bone, Warga miskin yang meninggal karena tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Dan banyak lagi berita-berita layanan publik yang berseliweran di jagad maya. 

Fakta di atas mengantarkan saya pada sebuah pernyataan hipotetik bahwa Pembangunan Berkelanjutan hanya ilusi. Ilusi adalah sesuatu yang hanya ada dalam angan-angan, tetapi tidak dapat diinderai atau tidak empiris (adaptasi KBBI). Kenapa ilusi? Tujuan dan target-target indah dalam MDGs (Milenium Development Goal, 2000-2015) lalu dilanjutkan dengan SDGs (Sustainable Development Goals, 2015-2030). SDGs memiliki 17 tujuan dan 196 target atau sasaran yang harus dicapai pada tahun 2030.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 (TPB-2030) adalah pembangunan yang berorientasi pada penguatan ekomomi, sosial,dan lingkungan yang saling mendukung dan melengkapi. Secara spesifik dapat dilihat pada laman sdg2030indonesia.org. Ke-17 tujuan sangat ideal. Tujuan 1,  Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dimanapun, sampai tujuan 17:. Menguatkan ukuran implementasi dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan.

TPB-2030 ini telah diperkuat dalam berbagai paket Undang-undang, Permen, sampai surat edaran. Pada level Pemerintah Daerah dalam penyusunan Perencanaan Pembangunan, monitoring sampai penetapan target dan sasaran pembangunan harus merujuk pada Permendagri 86 Tahun 2017. Jika ada dokumen perencanaan yang belum mengintegrasikan regulasi tersebut maka harus direvisi.

Dalam filosofi memandikan mayat seseorang tidak mungkin bisa menyucikan kalau dia sendiri tidak suci. Makanya yang akan memandikan mayat harus suci (berwudhu) terlebih dahulu. Dalam fiqh sosial, seseorang tidak mungkin bisa memberi jika, ia tidak memiliki. Ini adalah falsafah dasar berinteraksi atau lebih khusus pelayanan sosial pada orang lain (masyarakat secara umum).

Nah, berangkat dari filosofi dasar di atas dapat dijadikan pisau analisa melihat praktik pembangunan pada level pemerintah (khususnya daerah). Bagaimana mungkin pemerintah bisa mengakhiri kemiskinan (TPB-2030 Tujuan1), jika mereka sendiri masih merasa miskin. Bagaimana mungkin mereka bisa memberi kalau mereka sendiri merasa tidak cukup. Tujuan 2-17 dapat diuji proses pencapaiannya pada ranah empiris.

Beberapa hasil penelitian mahasiswa bimbingan kami di kampus (FE UNM, 2019) menunjukkan betapa tidak mandirinya pemerintah Daerah di Sulsel. Sampel penelitian daerah AJATAPPARENG, MAMINASATA, dan Beberapa Kabupaten di Sulsel menunjukkan tingginya ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada pemerintah pusat. Pengukurannya dengan melihat rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bantuan pemerintah dan pinjaman.

Sedangkan Rasio efektivitas keuangan daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan  dibandingkan dengan target yang  ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2007). 

Sayangnya kemandirian keuangan daerah masih rata-rata berpola hubungan instruktif, yaitu peran Pemerintah Pusat sangat dominan dari pada kemandirian Pemerintah Daerah. Demikian pula, pada dominan efektivitas Keuangan Pemerintah Daerah, masih kurang efektif.

Hal ini diperparah dengan model pengukuran kinerja pemerintah yang hanya melihat tingkat serapan anggaran. Aneh, regulasi memerintahkan pembangunan berbasis kinerja, artinya mengukur dimensi outcome (hasil) dan impact (dampak). Namun prioritas penilaiannya masih berbasis anggaran (input). 

Lalu, sampai kapan kita terilusii dengan doktrin-doktrin model kebijakan pembangunan yang kedengarannya indah, memesona dibicarakan, namun sulit bahkan amat berat direalisasikan. Kenapa? Karena pembangunan tidak berbasis pada kewilayahan, tidak bersesuaian dengan norma adat (Suitability) yang ada di daerah kita (Sulsel). Menurut hemat kami Pembangunan selain harus Sustainability (keberlanjutan) juga harus Suitability (Kesesuaian) (Alam & Rumi, 2020). Pembangunan yang bertumpu pada filosofi Sulapa APPA.

Sulapa APPA, Model kosmos dihubungkan dengan adanya harmoni empat unsur alam, yaitu: udara, air, api, dan tanah, yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Keempat unsur ini adalah empat jenis sifat yang dimiliki oleh "manusia yang berbicara",  keberanian, kebangsawanan, kekayaan, keelokan. Dengan memerhatikan kondisi kewilayahan beserta nilai-nilai budaya luhur yang ada di dalamnya, ia dapat menghindarkan kita dari ilusi pembangunan. Hal ini membutuhkan political will yang solid.

Masa pemerintah daerah hanya 5 tahun, jika hanya sibuk membangun citra dan monumen diri, pertanda bapak-bapak belum selesai dengan dirinya. Mungkin para pejabat kita perlu membuka kembali pesan "Renaisance Man' Karaeng Pattingalloang, yang menyatukan sains dan nilai-nilai kebijaksanaan dalam memgelola daerah (negara). Istilah sekarang, Pembangunan yang berdasar pada Based Policy Evidence plus nilai-nilai kearifan lokal. 

Akhirnya, bisakah kita membangun dan menata daerah yang berani melawan imperialis, berperangai kebangsawanan yang beradab, dan kalau kaya tidak akan merampok anggaran daerah secara terstruktur sistematis dan massif.

Wallahu A'lam Bisshawwab. *) Dosen Ekonomi Pembangunan FE UNM Terbit di media cetak Tribun Timur, 07 Februari 2020.