Syamsu Alam
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu,
organisasi atau negara pernah mengalami pasang surut. Setiap individu pernah
bahagia, khawatir, murung, dan sedih. Bahkan orang sukses dan terkaya di dunia
pun pernah mangalami keterpurukan, lalu bangkit menuju puncak kejayaan. Organisasi
mengalami fluktuatif. Demikianlah hidup, seperti roda kehidupan. Berada di titik
terendah atau pun berada di puncak, adalah pertanda bahwa ada gerak, ada
kehidupan yang dinamis dan bukti ada perubahan.
Lalu, bagaimana dengan kondisi ekonomi kita, Indonesia?
Akhir-akhir ini diprediksi akan terkena imbas pelemahan ekonomi global. Efek
perang dagang, Brexit di Eropa, Krisis Timur Tengah hingga Hongkong, yang sudah
tentu berdampak secara langsung atau tidak langsung pada perkeonomian kita. Ada pula yang melihatnya dari sisi domestik,
bahwa fundamental ekonomi kita sebenarnya tidak begitu tahan menghadapi
guncangan eksternal. Namun kilah pemerintah tetap optimis menghadapi situasi
tersebut. Faktor manakah yang dominan dan bagaimana meretas jalan menghadapi
resesi?
Data: Fact or Fallacy
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis
pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2019 sebesar 5,02% secara tahunan. Angka
ini sebenarnya melambat dibanding kuartal sebelumnya sebesar 5,05% maupun
periode yang sama tahun lalu sebesar 5,17%. Perlambatan ini relatih lebih baik
jika dibandingkan dengan negara se-kawasan. Pada periode Q1-2018 sampai Q2-2019 Indonesia, India, Thailand,
Singapura masing-masing mengalami penurunan sebesar (-0,2%), (-3,0%), (-2,4%),
(-3,1%). Meski melambat, sejumlah ekonom asing meragukan data yang dilansir
BPS. Menurut mereka, perekonomian Indonesia seharusnya tumbuh lebih lambat dari
data BPS.
Gareth Leather (Ekonom Capital Economics, London) meragukan
data yang dilansir BPS. Ia menyebut, indikator bulanan menunjukkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia telah melambat tajam selama setahun terakhir. “Kami tak
memiliki kepercayaan pada angka PDB resmi Indonesia, yang telah stabil selama
beberapa tahun terakhir,"
Ekonom Natixis Hongkong juga
mengemukakan hal serupa, "Saya tidak tahu bagaimana ekonomi dapat tumbuh
pada tingkat yang sama untuk waktu yang lama dan ini dimiliki Indonesia. Padahal
pengeluaran pemerintah lemah dan investasi melambat, neraca impor juga
mengalami tekanan. (Trinh Nguyen, 2019).
Pemerintah
mengakui perlambatan ekonomi, Namun, tertolong oleh konsumsi rumah tangga yang
masih kuat. Sementara komponen lain, sesuai rilis BPS, sebenarnya mencatatkan
perlambatan pertumbuhan yang cukup dalam. Misalnya Pembentukan Modal Tetap
Bruto (PMTB) atau investasi pada kuartal III 2019 hanya tumbuh 4,21% dibanding
periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan tersebut melambat dibandingkan
kuartal III 2018 sebesar 6,96%. Pelemahan investasi ini menjadi pertanda nyata
bahwa ekonomi memang lesu.
Meskipun
kontribusi konsumsi rumah tangga menyumbang 56,52% dari pembentukan Produk
Domestik Bruto (PDB) nasional pada periode yang sama, Namun sektor ini
diprediksi akan mengalami koreksi. Penurunan konsumsi barang durable (barang tahan lama) memgalami
penurunan, meskipun nilainya masih di atas 100. Potensi penurunan konsumsi juga
terlihat dari setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penerimaan PPN
menggambarkan seberapa besar transaksi di perekonomian. Ketika PPN turun, artinya
aktivitas jual-beli lesu. Data
menunjukan pada Januari-Agustus 2019, penerimaan PPN dalam negeri tercatat Rp
167,63 trilun. Turun 6,47% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Lalu, bagaimana kondisi
konsumen yang dominan namun tak begitu kuasa menghadapi gejolak ekonomi ke
depan.
Power of Powerless
Vaclav
Havel, sastrawan dan mantan presiden Czech pernah mengemukakan tentang kekuatan
(kekuasaan) dari yang tak berkuasa. Havel menawarkan masyarakat yang hidup
dalam kebenaran (Living within the truth),
kehidupan individu yang bebas. Kehidupan yang menyangkal kedustaan dan
kepura-puraan, melainkan hidup yang merdeka dengan tingkat emasipasi diri yang
tinggi. Konsep ini sedikit menyerupai prinsip dalam kapitalisme, yaitu Self-regulating.
Resesi atau krisis adalah kondisi
dinamis dimana pasar mencari keseimbangan baru, dan kita tidak perlu panik
menghadapinya. Tetap berpikir rasional, menahan diri maka kita bias melewati
‘dengan santai’, demikian kata ekonom pro pasar. Namun tentu tidak sesederhana
itu, krisis ekonomi yang disertai krisis politik akan berdampak lebih parah dan
masyarakat lemah akan semakin merana.
Kontribusi
Konsumsi yang tinggi tadi sesaat bisa amblas, dan ekonomi akan terkoreksi cukup
dalam. Perlu menelisik lebih jauh struktur konsumsi tersebut. Jika konsumsi ditopang
oleh komoditas impor maka pada saat resesi akan menyulitkan masyarakat dan
pengusaha lokal, yang selama ini menikmati barang impor impor Yang pada saat
resesi akan mengalami lonjakan harga. Hal ini dikonfirmasi oleh defisit
transaksi perdagangan yang masih minus, mendekati batas aman -3%. Belanja
pemerintah yang tidak produktif menghasilkan produk berdaya saing. Penurunan laba BUMN bahkan ada yang rugi.
Utang swasta dan pemerintah yang tinggi, dll. Jika variabel ekonomi tersebut
bersamaan dengan instabilitas dalam negeri, maka syarat terjadinya resesi
menemukan momentum.
Lalu apa yang dapat diupaya
menghadapi momentum di atas. Pengalaman adalah guru terbaik. Sepanjang sejarah
manusia krisis sehebat apa pun dapat dilalui. Daya tahan the power of powerless,
berpotensi kuat melawan badai resesi. Masyarakat yang hanya kuasa atas dirinya
sendiri membutuhkan sinergi, empati dan trust. Sinergi dapat dirajut antar
lembaga atau antar kebijakan (fiskal-moneter). Empati dapat dipupuk dengan
tauladan. Sedangkan, Trust harus dijaga dengan kejujuran. Jika "mengetatkan
ikat pinggang" adalah cara menghadapi resesi, maka masyarakat sudah
terbiasa dengan hal seperti itu, bagaimana dengan para Tuan dan Puan yang
selama ini menikmati 'kue ekonomi' bangsa ini lebih benyak, sudikah kiranya
mereka mengetatkan ikan pinggang juga atau berbagi sepiring nasi dengan warga
yang powerless.[][]
*) Dimuat di harian Tribun Timur, Senin 25 November 2019.