NASIB REZIM KEBENARAN DI ERA VIRALISME





Jika seorang perempuan disanjung-sanjung dengan kata-kata indah. Misalnya, “kamu cantik sekali malam ini”. Yakinlah, hatinya akan berbunga-bunga. Namun, ketika ekspresi cantik dipercantik menjadi “syantik”, mungkin ekspresinya akan berubah, apalagi jika ia mempunyai pengetahuan historis tentang viralnya dangdut si syantik. Itulah contoh sederhana betapa hebatnya viral mengubah persepsi atas ekspresi kata-kata. Sama-sama niatnya memuji, cantik, syantik, tapi bisa ditanggapi berbeda.


Era serba internet (internet of thing) sekilas tampak bahwa tiadanya atau tergerusnya strata sosial di hadapan “viralisme”. Dalam viralisme kita bisa hina sesaat, bisa mulia sejenak. Ia datang dan pergi sesukanya sekejap mata, ketawa dan sedih kadang beririsan, seperti drama Korea mengaduk-aduk emosi. Begitu dinamisnya, begitu relatifnya ekspresi kita. Seorang pejabat bisa berpura-pura jadi kuli untuk viral. Komplotan perampok yang beringas bisa berpura-pura jadi pejabat yang santun, namun belum tentu untuk viral, karena memang niatnya jadi perampok.


Mungkinkah viralisme menjadikan masyarakat yang non-hirarkis, atau hanya menciptakan hirarki baru, user-administrator, follower-creator, viral – non-viral?


Viralnya sesuatu (teks/narasi atau style/perilaku) ibarat tsunami. Ia akan menenggelamkan dan menggulung apa dan siapa saja yang dilewatinya. Semua level usai, strata jabatan, semua profesi, strata sosial, dll. Bersyukurlah jikalau yang viral adalah hal baik dan menginspirasi, jika sebaliknya, celakalah. Jika style tertentu viral maka mengikutlah kita padanya. Hatta dengan mengikutinya setulus hati atau hanya sekadar peniruan yang mengejek, atau cara-cara mimesis lainnya. Lalu, siapa yang bisa bertahan dari derasnya arus viralisme? Boleh jadi viral akan menjadi agama dan ideologi baru masyarakat kita.


Sebagai ilustrasi terkini, polemik antara protes Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan PB Djarum berakhir indah dengan foto bersama di stage. Adanya kesepakatan bahwa audisi bulutangkis tetap dilaksanakan, dengan sejumlah catatan. Perubahan sikap pihak PB Djarum menarik keputusan untuk meniadakan audisi, demikian juga melunaknya KPAI atas protesnya yang awalnya garang banget menjadi slow. Apa sebabnya? Boleh jadi disebabkan viralnya polemik tersebut yang menjalar ke mana-mana. Termasuk pada latar belakang komisioner KPAI dan donaturnya selama ini, dan seterusnya, yang melahirkan berbagai persepsi dan penilaian terhadapnya.


Ada banyak kasus yang bisa mengubah sikap seseorang dari sedih menjadi senang, dari benci menjadi cinta, dari pemalu jadi beringas, dst. Kasus manipulasi aturan, kebijakan, bahkan kejadian tragedi besar karena the power of viral. Viralnya sesuatu (berita, kasus, info, dll.) bisa melelehkan pada apapun yang dilewatinya. Yang salah bisa jadi benar, yang benar bisa jadi keliru, itulah fenomena post-truth. Kebenaran narasi ditentukan oleh masifnya emosi yang terlibat di dalamnya bukan pada standar kebenaran itu sendiri.


Apakah ini berbahaya bagi rezim kebenaran? Sudah tentu. Bukan hanya rezim kebenaran, rezim kepakaran pun akan terkena dampak oleh tsunami viral. Profesor bidang tafsir, bisa saja kalah populer dan pengikut (jamaah follower) oleh mahasiswa semester akhir yang mampu mengoptimalkan sarana algoritma sosial media, google adsense, dan fasilitas robot lainnya. Sudah lazim kita saksikan bagaimana seorang mualaf (pemeluk Islam pemula banget) sok tahu (sotta) menceramahi dan kadang menyalahkan seorang kiai yang mendekati ‘paripurna’ keilmuan. Si pemula yang lebih populer dan diterima khalayak karena ceramahnya lucu, kocak, dan menghibur. Sedangkan kiai yang paripurna keilmuannya hanya mengisi pengajian-pengajian di pelosok.


Atau jangan-jangan seperti yang dirapalkan Tom Nichols, “Kadang dalam rimba informasi masa kini, penjelasan pakar tidak didengar, sementara jawaban dari tokoh yang mempunyai banyak pengikut justru lebih dipercaya –dan membahayakan banyak orang.” (Tom Nichols, 2019, dalam Matinya Kepakaran).


Oleh karena si pemula lebih populer, jam tayang di TV, di Youtube, dan media sosial lebih masif maka sangat mungkin dia akan didaulat sebagai yang “paripurna” ala ciptaan media. Dan terlanjur populer, maka si pemula pun tak punya waktu untuk “ngaji”, belajar lebih banyak dan lebih dalam. Cara-cara instan pun ditempuh, belajar instan dan karbitan. Akhirnya, lahirlah agamawan pemula, populer, karbitan, dan kagetan.


Hal yang serupa juga terjadi pada realitas publik yang lain. Partai politik yang sejatinya menjadi lembaga pengaderan politik, juga terjebak pada politisi viral. Siapapun figur publik yang bisa menciptakan narasi populer, maka akan dilirik oleh partai dicaplok sebagai kader. Singkat cerita lahirlah anggota-anggota dewan dan politisi yang karbitan, kagetan, dan panikan. Padahal tugas utama mereka adalah menjadi corong publik, memperjuangkan hak-hak warga yang memilihnya, karena terlalu jauh kalau mewakili kepentingan warga kebanyakan. Akhirnya panggung politik menjadi kontestasi drama. Dramaturgi, di mana setiap lakon bisa mati berulang kali dengan peran yang berbeda-beda. Pagi hari berperan jahat, malamnya jadi bejat, esoknya jadi bajingan, kapan baiknya? Di pencitraan, di narasi tontonan.


Kalau sudah demikian, lalu siapa yang bisa diharap menyuarakan kebenaran-kebenaran konstitusional, kebenaran ajaran agama yang mulia yang membawa rahmat untuk semesta. Kebenaran-kebenaran pancasila yang mulia nilainya: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebersamaan, dan keadilan.


Dua Persfektif Logika


Kebenaran dapat kita amati dan verifikasi pada dua perspektif logika. Pertama, perspektif logika biner. Dalam melihat kebenaran seperti logika klasik/biner/boolean. Logika benar-salah, hitam-putih, halal-haram. Cara pandang ini diterapkan oleh hakim dalam mengeksekusi kasus, bersalah atau bebas. Hal sama dapat kita lihat pada perilaku sebagian kaum agamawan ekstrimis yang sumbu pikirnya sangat pendek, kalau bukan dari golongannya yang ‘mahabenar’ maka yang lain salah.


Logika klasik menyatakan bahwa segala hal dapat diekspresikan dalam istilah biner (0 atau 1, hitam atau putih, ya atau tidak). Logika ini membagi realitas dalam dua titik ekstrim yang berbeda 0 atau 1. Tentu dengan standar yang ketat mana yang benar dan mana yang salah.


Kedua, perspektif logika fuzzy (kabur). Cara pandang logika fuzzy menyerupai perspektif gradasi cahaya. Sebagaimana cahaya yang bergradasi, dari terang bisa menuju ketiadaan terang (gelap).


Logika fuzzy memungkinkan nilai keanggotaan antara 0 dan 1 (0,2; 0,5; 0,7; 0,9), tingkat kekaburan (probabilitas), begitu banyaknya angka antara 0-1, dan dalam bentuk linguistik, konsep tidak pasti seperti “sedikit”, “cukup”, “sedang”, “sangat”, dll. Logika ini berhubungan dengan himpunan fuzzy/kabur dan teori kemungkinan. Fuzzy Set (Himpunan Kabur) diperkenalkan oleh Lotfi A. Zadeh, beliau adalah Bapak logika fuzzy yang dilahirkan di Baku, Azerbaijan merupakan peletak dasar-dasar fuzzy logic. Beliau besar di Iran, dan bekerja sampai akhir hayatnya sebagai profesor di Universitas California, Barkeley.


Penemuannya tentang sistem fuzzy, dengan pergeseran sudut pandang dari perhitungan sistem yang akurat, teliti, lengkap (hard computing) menjadi perhitungan sistem yang mentolerir adanya ketidakpastian, kekurangan data, dan sebagainya (soft computing) yang ternyata lebih mendekati pada kenyataan sehari-hari.


Logika fuzzy mengajarkan cara melihat fenomena, realitas dengan lebih jujur, plural dan realistis. Jika dalam dunia asmara Romeo-Juliet, Laila- Majnun, kita mengenal cinta dan benci. Dalam sudut pandang Zadeh, ada cinta mati, sangat cinta, cukup cinta, lumayan cinta, tidak cinta. Demikian pula benci.


Meretas Jalan, Bebas dari Jebakan Viralisme


Sekilas dapat terlihat bahwa logika fuzzy ini dalam sudut tertentu menyerupai pandangan “Hierarki Eksistensial” Mulla Shadra. Dalam hirarki eksistensial tidaklah wujud dipahami sebagaimana tunggalnya tiang listrik, tetapi wujud bergradasi bagai pendar-pendar cahaya. Mulla Shadra menghubungakan “kesatuan wujud dengan kemajemukan eksistensi” yang diibaratkan cahaya matahari dalam hubungannya dengan matahari itu sendiri. Cahaya tersebut bukanlah matahari, namun pada saat yang sama tidak lain adalah juga matahari. Sebagaimana Wujud (Ada). Adanya Tuhan, adanya buku, adanya esai ini, sama-sama ada, tetapi keberadaanya berbeda secara hakiki.


Filsafat Mulla Shadra mengajarkan gradasi wujud, dalam logika fuzzy ada gradasi kebenaran. Benar 100%, 90%, 85%, …..10%. Sama-sama ada level wujudnya, ada level kebenarannya. Tentu dengan kriteria kebenaran pada setiap level.


Dalam khasanah keilmuan Islam, “Benar” memiliki berbagai turunan. Kebenaran dalam Islam diistilahkan dalam 3 bentuk: Haqq, Shiddiq, Shahih. Kebenaran karena faktual, person yang terpercaya, dan kebenaran proposisi,


Pertama, Haqq adalah kebenaran yang bermuara pada hakikat sebagai dasar yang berwujud materi yakni realitas faktual. Contoh : Habibie telah wafat adalah realitas dan hakikatnya adalah alat komunikasi. 2). Shiddiq yaitu kebenaran yang mengacu kepada struktur kualitas dan kredibilitas subjek/individu, namun bukan pada status sosialnya (jabatan, profesor dll). Contoh: Periwayat hadist yang terpercaya, kejujuran imam. 3) Shahih, kebenaran yang merujuk kepada aspek pernyataan/proposisi/kata-kata atau verbal tanpa memandang person-nya. Kebenaran silogisme yang taat pada aturan formal logika.


Kekacauan diskusi akibat dari viralnya suatu narasi terjadi karena tidak adanya semesta pembicaraan yang jelas dan selevel. Pada level pengetahuan mana: biasa, illmiah, ideologis, agama, filosofis, mistik, atau metafisik. Karut marut yang timbulkan oleh sesuatu yang viral diperparah oleh netizen yang suka co’do rantasa (coras) atau asal bunyi (asbun), asal komentar tanpa basis pengetahuan yang memadai. Misalnya, bicara pengetahuan ilmiah tetapi menggunakan cara pandang mistik. Diskusi filosofis tetapi berpikir fikih. Ngga nyambung coii…


Baik Prof. Zadeh atau pun Mulla Shadra menghadirkan pandangan realitas yang majemuk. Yang memungkinkan setiap kita melihat setiap fenomena dan realitas tidak dengan tunggal. Prof. Zaadeh adalah sosok “pluralis”, tergambar dari pernyataan beliau. “The question really isn’t whether I’m American, Russian, Iranian, Azarbaijani, or anything else. I’ve been shaped by all these people and cultures and I feel quite comfortable among all of them”. Seorang pluralis tidak akan mudah menyalahkan orang lain. Sebagaimana yang terjadi pada korban-korban viral. Lihatlah betapa banyak orang menghakimi Pak Azis hanya karena mengulik pemikiran Muhammad Sahrur.


Leluhur, junjungan kita, Sokrates tidak pernah menyalahkan orang. Ia sangat bijaksana. Kebijaksanaanya karena kecenderungannya pada pencarian kebenaran. Tanpa membabi buta menghakimi yang berbeda dengannya. Ada tiga resep Sokrates untuk memfilter hoaks, gosip atau narasi viral. Ada 3 pertanyaan yang ia ajukan pada pembawa berita atau kabar. Satu, apakah Anda yakin benar dengan cerita yang hendak kamu ceritakan? Kedua, apakah yang akan kamu ceritakan hal-hal yang baik/bagus? Ketiga, apakah ada manfaatnya atau gunanya bagiku?


Kebenaran seperti cahaya, sumber cahayanya satu, tetapi tingkatan cahayanya berbeda (jamak). Seberapa dekat kita pada sumber cahaya maka level kebenaran kita makin terang dan jelas tanpa harus merendahkan mereka yang masih dalam kekurangan cahaya (kegelapan). Kata guruku, kegelapan itu identik dengan kebodohan. Maka bergeraklah dari kegelapan menuju cahaya, mulailah dari pesan pamungkas pertama, Membacalah! Membaca dengan indera, analisis dengan berpikir, teguhkan keyakinan dengan hati.


Wassalam. Wallahu a’lam Bisshawab.


Tulisan ini juga dimuat di KALALITERASI