Kuliah (Sekolah), untuk apa?






Kuliah (Sekolah), untuk apa?[Syamsu Alam]









Sekarang musim pendaftaran kuliah tahun 2019. Hal ini bisa jadi berita gembira ataupun berita yang manyayat hati bagi calon dan keluarga calon mahasiswa. Gembira bagi yang lulus dan mampu membayar biaya kuliah. Derita bagi yang tak lulus SBMPTN atau Bidik Misi, dan jalan satu-satunya untuk kuliah, lewat jalur mandiri atau Perguruan Tinggi swasta. Itupun kalau ada koneksi dan koleksi harta untuk biaya kuliah jalur Mandiri. _Hmmmm, Mandiri.. tapi bukan Bank Mandiri yang hari ini down sistemnya_ 😂. Mandiri adalah salah satu jalur prestise masuk kampus Negeri. Prestise dengan bayar yang lebih aduhai.





Kini, masuk perguruan tinggi ibarat memilih dan memilah menu, sesuaikan dnegan isi otak atau isi kantong. Andiakan saat ini saya baru masuk kuliah, sudah dipastikan tidak akan mampu masuk lewat jalur Mandiri. Maka harus bersaing merebut "Golden Ticket" Bidik Misi agar bisa kuliah. Jalur Bidik Misi adalah harapan bagi kaum yang mumpuni kecerdasan akademik namun kurang beruntung dalam hal finansial. Negara memfasilitasinya lewat jalur ini. Semoga jalur ini tidak dimasuki siluman. Sebagaimana yang terjadi pada jalur Mandiri pada umumnya. 😁









Tahun 2005 silam, saat resmi berstatus Sarjana Sains Matematika. Saya membaca tulisan Bob Black, "Penghapusan Dunia Kerja". Bacaan tersebut yang menyebabkan saya mengurunkan niat ikutan wawancara di salah satu perusahaan raksasa di Makassar. Pada saat kuliah, saya tidak serius-serius amat, kecuali saat menjelang selesai, menjelang persentasi tugas akhir. Saya lulus dengan durasi hampir maksimal 6 tahun 8 bulan. IPK tiga koma sembilan.................





belas. Alhamdulillah. "Baru ka santai-santai kuliah IPKku sudah setinggi itu" Apalagi kalau serius. 😁 Sahutku pada teman2 di bawah beton jamur Matematika UNM. Tempat ngobrol dan bernanung dari penatnya belajar matematika.





Kemarin Lembaga Studi Al Muntazar bekerjasama dengan salah satu Himpunan Mahasiswa di UIN Alauddin Makassar menggelar diskusi tentang Kerja dan Rev. Industri 4.0. Mengingatkanku lagi pada tulisan Bob Black. Pada Diskusi tersebut, saya memulai pembicaraan dengan mengutip sana-sini uraian Bob Black tentang "Penghapusan Dunia Kerja" dan mengaitkannya dengan kondisi kekinian.  Awalnya kukira peserta diskusi akan resisten, ternyata sebagai besar mengamini analisa Bob.





Pada diskusi itu, saya mengambil kasus-kasus yang saya dan teman-teman alami di dunia kerja. Apapun profesi pekerjaannya, yang sok santai (pelapak online) atau pun pekerja kantoran yang sebenarnya bekerja bukan 8 jam perhari atau minimal 35 jam perminggu. Tetapi 24 jam perhari selama seminggu. Sesekali menertawai diri sendiri "sebagai pengamen hasil bacaan dan pelajaran" di salah satu kampus negeri di Makassar.





Dalam diskusi tersebut, saya kemukakan bahwa, akhir-akhir ini kerja telah mengalami reduksi yang sangat dalam. Orang tidak akan dikatakan kerja kalau tidak berkantor, dengan jam kerja paten 08.00-17.00. Paling mutakhir tidak dikatakan kerja kalau bukan PNS. Maka wajar antrian pendaftaran CPNS akan melimpah.





Tapi pada prinsipnya kerja yang kita pahami selama ini adalah yang ada kantor (ataupun yang online berkantornya cukup bayar kopi di warkop atau cafe),  ada jam kerja, ada bos, ada _jobdesk_, ada target, dst. Prinsip inilah menurut Bob Black yang melanggengkan sistem kerja penindasan kapitalisme a la _fasisme pabrik_. Yang mana setiap orang yang terlibat di dalamnya mengalami dehumanisasi, alieansi diri dan ketertindasan.





Terdehumanisasi karena kita dipaksa diam atau terpaksa diam atas keburukan-keburukan yang terjadi dalam lingkungan kerja. Kita ketahui ada penyelewengan, ada korupsi, ada kebiadaban tetapi apa daya kita memperbaikinya dan mengubahnya. Melawan secara frontal akan memberikan implikasi panjang pada nasib kita.





Nah, kita yang terlanjur larut dan terdehumanisasi dalam dunia kerja. Tanpa berani mempertanyakan apa sebenarnya kerja? Untuk apa dan siapa, tujuannya apa?  Akan diam-diam saja dan merasa semua hal berjalan normal-normal saja. Padahal jika dicermati dengan seksama kerja dan institusinya telah banyak merusak relasi-relasi kemanusiaan kita.





Nilai kemanusiaan yang paling mendasar adalah Kebebasan. Dan dalam dunia kerja tiada lagi kebebasan. Catat, tiada lagi kebebasan. Sejak menandatangani kontrak kerja, maka pada saat itu kita menggadaikan kebebasan kita. Hal paling mungkin kita lakukan adalah mencuri kembali sedikit demi sedikit kebebasan itu yang telah dirampas oleh dunia kerja.





Berapa jam kita bekerja /hari?  8 jam, tidak. Sebenarnya 24 jam per hari.





Seorang bapak yang bekerja bukan hanya dia yang akan terlibat dalam dunia kerja. Istrinya akan menyetrika bajunya, memasak masakan bergizi agar berstamina prima. Pun, istirahat kita di siang hari dan malam hari adalah rangkaian dunia kerja. Agar esok hari, bisa fit and fresh lagi masuk kerja. Demikian seterunsya dan seterusnya berputar. Berlibur pun adalah rangkaian dari merefresh ketegangan kerja. Semua adalah rangkaian dunia kerja.





Lalu buat apa kita Sekolah, Kuliah? Apakah hanya sekadar memperpanjang barisan perbudakan dunia kerja? Atau sesekali menginterupsinya. Interupsi dengan event-event budaya, diskusi, meditasi, atau lainnya.





Sekolah sebenarnya adalah bahan kayu bakar dari "fasisme pabrik". Apalagi sekolah atau kampus yang tujuan tunggalnya sekadar untuk menciptakan 'Worker' bukannya 'Human'. Institusi sekolah lah yang mengajarkan disiplin dan kadang menkondisikan ketaatan total tanpa interupsi pada suatu aturan. Jika sekolah atau kampus sudah demikian, maka tak ada bedanya dengan penjara. Dan para pengelola kampus adalah sipir.





Karena untuk merealisasikan tawaran Bob Black yang begitu radikal butuh perjuangan dan nafas yang panjang.





Saya justru melihat tawaran Bob, dapat ditelusuri pada jejak-jejak kehidupan kaum sufi. Dimana bekerja dan pekerjaan adalah aktifitas ibadah, bekerja dilakukan dengan riang gembira, bukan karena paksaan dan intimidasi. Kerja yang bermartabat adakah kerja yang dilakukan dengan riang gembira ibarat dunia permainan yang didalamnya ada konsensus yang sifatnya sukarela. Dimana, apabila ada teman bermain yang "curang" atau menyalahi konsensus bersama bisa kita tegur ramai-ramai dengan santai dan tanpa dendam.





Singkat cerita....





Pada sesi penutup diskusi saya bertanya pada audience. Yang bekerja ataupun yang berniat bekerja, Anda sebenarnya mencari apa dipekerjaan, uang atau rejeki? Kekayaan atau kesejahteraan?









Syamsu Alam, Pegiat di Praxis School