Syamsu Alam *)
Pertentangan atau konflik umumnya terjadi disebabkan adanya konsepsi yang menyejarah dalam pikiran kita. Atau pengetahuan masa lalu kitalah yang kerap membuat kita berselisih dengan orang lain. Konsepsi memengaruhi persepsi yang digunakan untuk mengekspresikan tindakan kita, termasuk merespon fenomena.
Respon atas fenomena itulah yang menyebabkan konflik. Kenapa? Karena ada pengetahuan masa lalu yang berbeda dan cenderung dipaksakan. Klaim akalkulah yang sehat, dan yang lain dungu, adalah jenis kedunguan yang sudah lama ada dalam masyarakat yang miskin tradisi literasi. Klaim kelompokku benar, dan kamu salah. Klaim-klaim yang justeru mencederai akal sehat. Apa legitimasi akal sehat? Apakah si Rocky Gerung (RG) yang?
Tidak sesederhana itu, Ferguso.
Mari kita cek ada apa di balik fenomena RG dan middle finger.
Jika ada seseorang mengacungkan middle finger (jari tengah) ke kita, mungkin kita akan merespon dengan emosional. Marah, ngakak, atau balik membalas dengan jari tengah. Kenapa? Karena kita mempunyai pengetahuan sebelumnya tentang jari tengah. Yang bisa diperoleh dari film-film, bacaan, atau dari film spesifik XXX. Ekspresi kita, sekali lagi sangat dipengaruhi oleh konsepsi di kepala kita masing-masing.
Yang berbahaya jika kita terpenjara dalam pengetahuan sebelum tersebut. Dan apakah kita harus marah secara berlebihan? Tergantung jam terbang kita menghadapi ekspresi orang atas diri kita. Jika kita marah mungkin yang kita ketahui tentang jari tengah adalah fuck padahal itu hanya sepenggal arti darinya. Masih banyak makna lain darinya.
Kakek-kakek, nenek-nenek atau siapa pun yang tidak mempunyai pengetahuan sebelumnya tentang middle finger akan bersikap biasa-biasa saja. Ia tidak akan merespon dengan emosional (marah). Dia mungkin akan senyum-senyum saja. Atau bertanya tentang artinya.
Memang benar, kata seperti senjata, bisa membunuh atau bisa menghidupkan. Bisa positif bisa negatif. Dan Kamus, kata Prof. Wim, tidak bisa menyelesaikan perselisihan arti kata-kata. Menurutku, kamus hanyalah kumpulan arti-arti kata yang subjektif dan bersifat lokalitas (keilmuan, daerah, suku, bangsa, dinasti).
Lalu, apa hubungannya RG dengan jari tengah. Apakah kita akan memberikan predikat middle finger kepadanya. Sekali lagi, tergantung jam terbang menghadapi kenakalan berpikir seseorang. Saya melihat beragam ekspresi muncul di media atas ulah Om RG. Dari yang cacian yang soft sampai yang hard. Dari yang sebelumnya membenci filsafat bahkan mengharamkannya tiba-tiba gemar dan nge-fans dengan orang yang seolah-olah filosof. Entah karena pandangan politik atau apalah.
RG mengingatkan kita pada banyak hal, di antaranya yang berkesan adalah tentang Hoaks. Baginya, Pemerintah adalah pembuat Hoaks paling hebat. Dalam banyak hal dan peristiwa i agree with you, bro. Tetapi tidak dalam hal yang lain. Bahkan banyak hal. Sebut saja di antaranya, saya susah menemukan filosof zaman dulu yang akrab dengan pikiran-pikran seolah-olah nakal sekaligus piawai mengumbar kata-kata ‘kedunguan’. Bahkan di publik dengan terang menderang menyebut presiden dungu, dst.
RG, middle finger sama dengan konsep Nabi. Kita memiliki konsepsi tentang nabi. Saya pernah disarankan untuk ‘kembali ke jalan yang lurus’ hanya karena membagikan bacaan, tentang Sokrates adalah Nabi. Kenapa bisa begitu, padahal itu hanya bacaan. Boleh jadi karena pengetahuan sejarahnya tentang Nabi dilokalisasi dalam domain ‘Nabi dan Rasul Islam’ yang 25. Padahal ada riwayat menyebutkan ada sekitar 124.000 Nabi. Pemaknaan atas kata-katalah kerap membuat kita bermusuhan, bertikai hingga perang. Kata-kata ‘dimanakan’ misalnya, dalam terminologi orde baru maknanya bisa ‘horor’.
Oleh karena itu sebelum terlalu dalam menghakimi Om RG, mari kita renungkan sosok Om RG.
Saya teringat suatu pesan mulia, bahwa jika Anda menuduh orang sesat, kafir tetapi ia tidak sesat, kafir maka tuduhan itu sesunghuhnya berbalik pada dirinya sendiri. Boleh jadi ia yang sering menuduh orang lain dungu mungkinkah akan berbalik pada dirinya sendiri. Wallahu a’lam bissawwab. Kehadiran RG ke ruang publik atas branding media, mengingatkan kita pada kaum Sofis, pada zaman Socrates. Mari kita simak sekilas tentang kaum Sofis.
K.Bertens (1999) mengemukakan bahwa Sofis (sophistes) tidak dipergunakan sebelum abad ke-5 SM. Arti yang tertua adalah “seorang yang bijaksana” atau “seorang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu”. Herodotos memakai nama sophistes untuk Pythagoras. Pengarang Yunani yang bernama Androtion (abad ke-4 SM) menggunakan nama ini untuk menunjukkan “ketujuh orang bijaksana” dari abad ke-6 SM dan Sokrates.
Lysias, ahli pidato Yunani yang hidup sekitar permulaan abad ke-4 memakai nama ini untuk Plato. Tetapi dalam abad ke-4 SM nama philosophos menjadi nama yang biasanya dipakai dalam arti sarjana atau cendikiawan, sedangkan nama sophistes khusus dipakai untuk guru-guru yang berkeliling dari kota ke kota dan memainkan peranan penting dalam masyarakat Yunani sekitar paruh kedua abad ke-5. Di sini kita juga menghunakan kata Sofis dalam arti terakhir ini.
Pada kemudian hari nama Sofis tentu tidak harum. Akibatnya masih terlihat dalam bahasa-bahasa modern. Dalam bahasa Inggris misalnya kata sophist menunjukkan seseorang yang menipu orang lain dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi yang tidak sah. Cara berargumentasi yang dibuat dengan maksud itu dalam bahasa Inggris disebut sophism atau sophistery. Terutama Sokrates, Plato, dan Aristoteles dengan kritiknya pada kaum Sofis menyebabkan nama Sofis berbau jelek.
Salah satu tuduhan adalah bahwapara Sofis meminta uang untuk pengajaran yang mereka berikan. Dalam dialog Protagoras, Plato mengatakan bahwa para Sofis merupakan “pemilik warung yang menjual barang rohani”. Aristoteles mengarang buku yang berjudul Sophistikoi Elenchoi (cara-cara berargumentasi kaum Sofis); maksudnya, cara berargumentasi yang tidak sah. Demikian para Sofis memeroleh nama jelek.
Kaum Sofis juga dikenal kerap menebarkan keraguan pada khalayak tanpa memberikan keteguhan keyakinan. Ia menafikan hampir segala hal, namun tiada penetapan kebenaran. Maka makin menyatalah, kegaduhan di mana-mana. Sebahagian besar orang agar meragukan banyak hal, celakanya lagi jika tiada standar kebenaran yang diyakini. Hal mana akan menggiring kita pada nihilisme.
Menurutku, nihilisme (meragukan segala hal, tanpa satu tujuan) hanyalah titik awal menuju keyakinan, sebagaimana yang diikrarkan oleh kaum Muslim. Lailaha, Tiada Tuhan, Illallah Kecuali Allah. Kata pertama adalah pengingkaran segala hal, setelahnya harus ada penetapan (tasdiq) keyakinan. Kisah Nabi Ibrahim mencari Tuhan adalah contoh yang paling tepat untuk hal pengangkaran-penetapan keyakinan.
Semestinya, fenomena RG ditanggapi seadanya saja. Orang-orang yang mencibirnya berlebihan, tak ada bedanya dengan kaum fanatiknya yang mengelu-elulannya dengan takbir. Bagi saya, hadirnya RG hanyalah fenomena standar yang mengajarkan keraguan-raguan untuk senantiasa memperbaharui keyakinan dan kebiasaan. Menurut Muthahhari, keragu-raguan adalah tahap awal menuju keyakinan.
Namun, jangan berlama-lama sampai menetap pada keragu-raguan tersebut. Bahkan, sejatinya kita senantiasa memperbaharui keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan kita. Karena sabda Sokrates mengingatkan bahwa hidup yang tidak pernah dikritisi atau (dipertanyakan/diragukan) adalah hidup yang tak layak dihidupi.
Namun perlu diingat bahwa hadirnya RG tak seindah kisah Sokrates atau pun Syekh Siti Jenar yang menjadi tumbal penguasa zalim. Karena mempertahankan keyakinan akan keesaan Tuhan. Adakah RG mengajarkan hal itu, sejauh ini, belum. Ia baru sampai pada tahap awal keragu-raguaan. Dan jika kukuh diposisi itu, hakkul yaqin pada kegenitan intelektual, mengobrak-abrik apa pun yang ia hadapi, itulah senyata-nyatanya kedunguan. Wallahau a’lam Bisshawwab.
Esai ini pernah dimuat di Kalaliterasi.com
*) Pegiat di Praxis Community