Syamsu Alam **)
Bisakah kepakan sayap kupu-kupu di Maros menyebabkan Tsunami di Palu? atau Mungkinkah cuitan Donald Trump di Twitter menyebabkan krisis ekonomi yang dahsyat di negara emerging market? itulah sekilas tentang Butterfly Effect dalam Teori Chaos. Hal yang kecil dapat membawa dampak yang besar.
Pada sesi perdagangan 5/10/2018 rupiah ditutup melemah pada level psikologis 15.177/USD Dollar. Hal ini berpotensi viral dan meluber kemana-mana di linimasa. Sebahagian orang menilai adanya siklus krisis ekonomi 10 tahunan, namun tak harus khawatir. Krisis ekonomi 1998, Krisis keuangan 2008, dan kini 2018. Kekhawatiran ini muncul karena banyaknya negera-negara berkembang yang dilanda krisis, seperti Venezuela, Turki, dan lain-lain. Seberapa pentingkah mitigasi krisis dilakukan? Tindakan sistematis dan terukur perlu diupayakan di tengah ekonomi yang saling berkaitan (Intrelinkage).
Dalam sistem ekonomi global yang saling terkait, dapat memicu terjadinya krisis sistemik. Efek krisis di negara lain dapat memicu krisis di negara lainnya. Sistem ini menyerupai hukum Chaos dalam Teori Chaos Lorenz yang terkenal dengan butterfly effect. Bahwa, kepakan sayap kupu-kupu di Brazil dapat menyebabkan Tsunami di Aceh. Kini, cuitan Donald Trump di Twitter dapat memicu krisis di negara-negara emerging market. Kenapa? karena efek psikologis dapat dengan mudah mengubah keputusan seseorang (investor) dalam sekejap. Portofilo sahamnya dengan seketika dapat dipindahkan dari satu negara ke negara yang lain.
Itulah mengapa krisis di negara tertentu dapat memengaruhi kinerja ekonomi negara lain, apalagi negera-negara berkembang. Karena efek psikologis, disertai bayang-bayang kepanikan, jikalau krisis merebak lebih luas ke negara-negara yang berkapitalisasi kecil. Beberapa negara emerging market mengalami pelemahan nilai tukar terhadap dollar AS. Per periode september 2018, masing-masing negara mengalami pelemahan terhdap USD year to date; Won Korea Selatan (-5,02%), Rupiah Indonesia (-8,98%), Rupe India (-11,18%), Ruble Rusia (-15,49%) Radn Afsel (-19,11%), Real Brazil (-20,10%), dan Lira Turki (-42,12%) (Kontan, 24/9/2018).
Tahun 1998 versus 2018
Nilai tukar rupiah akhir-akhir ini terus mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat. Seperti diketahui, pada perdagangan periode 5 agustus 2018 rupiah menembus level psikologis Rp15.117 per USD. Melemahnya nilia tukar bukan satu-satunya variabel ekonomi yang dapat menyulut terjadinya krisis. Fundamental makro ekonomi lainnya patut menjadi pertimbangan untuk menilai suatu negara berpotensi krisis atau tidak.
Beberapa indikator fundamental ekonomi kita patut diperhatikan. Indikator tersebut adalah Inflasi, Pertumbuhan ekonomi, Suku bunga, dan Current Account Deficit (CAD), Cadangan Devisa. Jika memerhatikan krisis keuangan 1997/1998 dimana pertumbuhan ekonomi domestik terkontraksi (-13,1%), Biaya yang dikeluarkan untuk penyelamatan perbankan sebasar 50% PDB, Perubahan Indeks Saham (-37) dan Nilai Tukar (-128,7). Inflasi 78 persen, Hampir semua bank kolaps di 1998. Semakin diperparah dengan kondisi politik yang tidak stabil, menjelang lengsernya Suharto.
Kini 2018, situasinya berbeda, meskipun rupiah menembus level 15 ribuan, namun indikator makroekonomi lainnya dianggap masih tahan guncangan eksternal. Inflasi september 2018 3,5 %, ekonomi masih bertumbuh lebih dari 5 %, suku bunga 5,75 %. Posisi cadangan devisa Indonesia cukup tinggi sebesar USD117,9 miliar pada akhir Agustus 2018. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor, (BI: 08/2018). CAD meskipun cenderung tergerus, namun dianggap masih mampu membiayai defisit yang sedang terjadi.
Kini 2018, situasinya berbeda, meskipun rupiah menembus level 15 ribuan, namun indikator makroekonomi lainnya dianggap masih tahan guncangan eksternal. Inflasi september 2018 3,5 %, ekonomi masih bertumbuh lebih dari 5 %, suku bunga 5,75 %. Posisi cadangan devisa Indonesia cukup tinggi sebesar USD117,9 miliar pada akhir Agustus 2018. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor, (BI: 08/2018). CAD meskipun cenderung tergerus, namun dianggap masih mampu membiayai defisit yang sedang terjadi.
Ekonomi kita memang sedang mengalami koreksi, pemerintah harus akui itu. Penyebab dominannya karena faktor eksternal. Kapitalisasi pasar kita sudah tergerus 2,74% dibanding akhir 2017 silam yang sebesar Rp 6.560 triliun. Mengutip Bloomberg, kapitalisasi pasar saham domestik mencapai Rp 6.380 triliun.
Defisit Transaksi berjalan yang sehat antara dua hingga 2,5 persen dari PDB. Penting untuk menekankan bahwa defisit transaksi berjalan tidak selalu buruk. Serupa dengan arus kas negatif sebuah perusahaan, defisit ini bisa menjadi hal yang positif apabila dana ini digunakan untuk tujuan-tujuan investasi produktif (yang menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang) seperti pembangunan industri atau infrastruktur. Tetapi kalau defisit ini hanya digunakan untuk konsumsi, terjadi ketidakseimbangan struktural karena defisit tidak menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang. Utang pemerintah juga lumayan tinggi, batas psikologis dari Menkeu 30%. Berdasarkan regulasi pasal 12 ayat 3 UU Keuangan negara maksimum 60% terhadap PDB, 30% batas psikologis dari Menkeu.
Waspadai Sudden Reverseal
Determinan sudden reverseal, yaitu penurunan aliran modal asing yang disertai paling tidak dengan salah satu krisis keuangan meliputi krisis nilai tukar, krisis perbankan, serta krisis hutang. Sudden Stop/ Reverseal, ibarat orang mengemudi mobil, dan tiba-tiba berhenti. Sudden reverseal crisis diawali oleh terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang utama sebagai akibat krisis nilai tukar. Kondisi ini diperparah dengan tingginya suku bunga riil dunia sehingga mempersulit perusahaan-perusahaan yang mempunyai hutang luar negeri terutama berjangka pendek dan jatuh tempo.
Hal di atas dapat menyebabkan kredit macet di sektor perbankan karena hutang tersebut sebagian besar difasilitasi sektor perbankan. Sementara itu, jika pemerintah tidak mempunyai cukup dana cadangan untuk menyelamatkan sektor perbankan, maka dapat memicu krisis sistemik. Bagi Keynes, krisis terjadi karena banyak orang ingin hidup di luar batas kemampuannya? Orang makassar menyebutnya STEPA (Selera Tinggi Ekonomi Pacce (Lemah).
*) Dimuat di Harian Tribun Timur, Kamis 11 Oktober 2018
**) Dosen FE UNM/Pengurus Masika ICMI Makassar