Pendidikan Tinggi dan Disruption Era
(Dedikasi untuk Dies Natalis UNM ke-57)
Syamsu Alam
(Dosen FE UNM/Pengurus Masika ICMI Makassar)
Awal agustus merupakan masa penting bagi mahasiswa baru (maba). Fase awal transformasi dari pendidikan anak/remaja menjadi dewasa. Hal mendasar dan pertama yang sebaiknya dilakukan oleh Perguruan Tinggi (PT) adalah bagaimana membawa dunia mereka masuk ke dunia kampus, dan memperkenalkan dunia kampus kepada mereka secara manusia. Pada zaman dahulu, kegiatan ini disebut OSPEK, Pesmab, dan sejumkah nama lainnya, yang intinya dalam kegiatan ini sebagai Hub (penghubung), antara dua dunia yang relatif berbeda. Bagaimana memperkenalkan roh Tri Dharma PT pada mereka dengan cerdas dan elegan? Sedemikian sehingga Maba bisa adaptif dengan budaya intelektual.
Fase awal ini sejatinya bersifat radikal dan dapat memberikan efek kejut pada Maba. Istilah kekiniannya adalah ‘distruption’. PT seharusnya dapat mendistrupsi girah belajar, sifat kekanak-kanakan, mental ‘kerupuk’, dll, menjadi lebih nilai-nilai baru sesuai dengan zaman yang mereka hadapi.
Bahkan yang lebih mengkhawatirkan di era keterbukaan saat ini adalah semakin menipisnya nilai kearifan lokal dan nilai kebijaksanaan leluhur yang mulia. Maba sebagai gen Z (Milenialis) boleh menyatu dengan gadget yang canggih tanpa mengabaikan nilai ‘Sipakatau’ (Saling memanusiakan). Kita boleh menggunakan perangkat robot dan semacamnya tanpa harus menjadi robot. Bermain game dan berbisnis lintas negara namun tetap punya waktu menyapa tetangga.
Usai melewati berbagai jalur seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dari yang gratis hingga yang berbayar. Fase awal memasuki pendidikan tinggi yang relatif sedikit berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah. Perbedaan mendasar terletak pada filosofi, kebijakan, dan praktik. Filosofi ada pada kebebasan akademik, kebijakannya lebih komprehensif memadukan fitur pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dan praktiknya dipandu oleh Tri Dharma PT, pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Mengembalikan Roh Pendidikan Tinggi
Sokoguru utama kampus adalah Tri Dharma PT, Pendidikan dan pengajaran, Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat. Ketiganya mengandung nilai-nilai mulia. Secara normatif, pendidikan mengajarkan prinsip egaliter dan demokratis. Pendidikan tujuannya adalah memerdekakan manusia. Merdeka dari rasa takut, rasa lapar, kebodohan dan penindasan. Penelitian mengajarkan pentingnya rasionalitas, kejujuran dan konsistensi. Kita tidak dibenarkan mengutip pendapat orang tanpa melampirkan sumbernya. Disitulah kita belajar jujur, dari awal kata hingga akhir karya ilmiah mengajarkan pentingnya rasionalitas dan konsistensi. Pengabdian pada masyarakat mengajarkan keikhlasan dan semangat berbagi pada sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Operasionalisasi nilai-nilai di atas tidaklah mudah. Belajar pada hal apapun adalah hal utama, termasuk pada kasus-kasus konflik ‘fungsionaris mahasiswa’ vs birokrasi kampus. Kampus memang bukan ‘pegadaian’, slogannya tidak realistis. Mangatasi masalah pasti selalu ada masalah baru, tapi masalah baru sedini mungkin lebih kecil dan lebih mudah di atasi.
Lalu apa Solusinya? Pada setiap masalah pasti ada solusi. Secara matematis, Solusinya bisa satu, belum (tidak) menemukan atau banyak. Solusi ibarat ramuan obat, bisa mujarab jika diagnosanya tepat. Tulisan ini hanya refleksi dan keresahan, moga-moga dari sejumput keresahan bisa mengantar pada solusi 3-K. Kritis, Konstruktif, dan penuh Kasih Sayang. Tiga hal yang kini mulai langka ditemui di aras sosial maya dan nyata.
Disruption: Jalan Merengkuh Peluang
Menurut Renald Kasali, akhir-akhir ini banyak kalangan keliru memahami disruption. Diantaranya, yang membatasi hanya berkaitan dengan teknologi Informasi, ada yang mengaitkan dengan training motivasi yang berujung pada hipnosis, cara kerja bisnis Multilevel Marketing (MLM) yang sering merugikan masyarakat. Bahkan ada yang membatasinya sebagai trading. Bisnis percaloan. Seakan-akan disruption melulu soal bisnis aplikasi yang digerakkan untuk mempertemukan suply dengan demand.
Anggapan seperti itu jelas kurang pas. Sebab disruption sejatinya mengubah bukan hanya "cara" berbisnis, melainkan juga fundamental bisnisnya. Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, dan bahkan ideologi industri. Misalnya yang dulunya sangat menekankan owning (kepemilikan) menjadi sharing (saling berbagi peran, kolaborasi resources). Sebagaimana yang banyak dicontohkan oleh Don Tapscott dalam bukunya Wikinomics.
Jadi, mungkinkah kita dapat merengkuh peluang, jika memahaminya saja keliru. Kita membutuhkan banyak energi untuk menghadapi dan sukses di era disrupsi. Hal yang paling azali adalah mindset, mengubah cara pandang. Kita yang terbiasa dilayani layaknya kaum feodal, harus rela berjibaku dengan siapa pun, dati berbagai kelas. Bagian tersulitnya bukan pada ide dan inovasi baru yang mengepung kita, tetapi keberanian untuk meninggalkan pandangan lama yang sudah usang dan tidak dapat menjawab tantangan zaman kini dan disini.