“Every Economy is a Culture” dan Relevansinya dengan Doktrin Produktivitas





Mononton film pendek memang mengasikkan. Di dalamnya tersirat banyak simbol, makna dan pesan-pesan. Pada salah satu perkuliahan ekonomi internasional bagian integrasi ekonomi, saya lazimnya mendahului dengan pengantar cerita-cerita santai dan lucu, sebelum sesi menonton film pendek di kelas, judulnya why some countries are rich and the others are poor? Film ini menyiratkan bahwa perbedaan dalam mengoptimalkan tiga hal; institusi, budaya, dan sumber daya alam sebagai penyebab adanya perbedaan antar negara. Apa, bagaimana dan seberapa penting ketiga hal tersebut.



Sentilan Escobar dalam Encountering Development, "Every Economy is a Culture", menarik diselisik lebih jauh. Mengingat ekonomi adalah hal fundamental dalam hidup dan kehidupan manusia sepanjang sejarah. Selain itu, ekonomi kerap direduksi menjadi sekadar angka-angka statistik yang kaku. Data kuantitatif penting tapi belum cukup menjelaskan kompleksitas ekonomi.



Jika setiap ekonomi adalah juga budaya, hal ini bisa bersifat resiprokal bahwa setiap budaya adalah proses ekonomi, proses pemenuhan kebutuhan atau kesejahteraan. Ukuran kesejahteraan setiap individu tidak sama. Karena secara hakiki tidak ada manusia yang sama. Kita memang sama-sama manusia, tetapi secara personal bakat dan kapasitas setiap orang berbeda sejak ia lahir. Secara potensial mungkin sama, tetapi aktualisasinya beragam. Ada yang belajar puluhan jam tapi tidak paham-paham, ada yang belajar hanya sejam dapat memahami suatu pelajaran dengan baik. Itu bukan ketimpangan, tapi keragaman mengoptimalkan sumber daya. Tuhan telah menganugerahkan potensi panca indera, akal, dan naluri atau kemampuan batiniah. Kemampuan mengoptimalkan segala potensi tersebut meniscayakan kita berbeda dan beragam. Karena kita berbeda maka perlakuan juga berbeda, bahkan di depan hukum sekalipun semua orang sebenarnya tidak diperlakukan sama. Kenapa tidak sama, karena kasusnya beda, deliknya beda, orang-orangnya beda, itulah kenapa pengadilan kerap tidak mencerminkan keadilan. Karena sedari awal diksi gombalannya “semua orang diperlakukan sama di depan hukum” hampir dipastikan sulit dipenuhi. Keadilan salah satu topik yang sangat dinamis dalam berbagai bidang termasuk dalam kajian-kajian ekonomi.



Dalam Globalisme kehidupan kita digiring pada keadaan yang bersifat homogen. Selera musik sama, makanan sama, slogan sama, dan kemiripan-kemiripan lainnya.  Sadar atau belum sadar, infiltirasi kebudayaan dalam ekonomi global, sedikit demi sedikit menggeser ‘cita rasa’ budaya lokal suatu daerah atau negara. Apa yang dikonsumsi warga Eropa dan Amerika sejatinya dapat dinikmati pula oleh masyarakat lokal. Globalisasi menyediakan ruang-ruang hidup bebas yang sangat luas. Tetapi bukan kebebasan itu sendiri. Termasuk bebas mati kelaparan di pinggir jalan, bebas foya-foya, bebas mati karena kelaparan, keracunan, atau karena mati dibegal ditonton massa yang lebih fokus mengambil gambar daripada berusaha menolong korban. Globalisasi (ekonomi) bukan sesuatu yang alamiah, ia adalah serangkaian gerakan ideologi (kapitalisme) sistematis. Perpaduan pengusaha fan kartel global beserta institusi global (World Bank, WTO, IMF, dll), Kekuatan-kekuatan militer negara-negara tiran global, dan termasuk para intelektual penyebar dan pembela gagasan pasar bebas. Keempat serangkaian itulah yang menciptakan hegemoni global. Dalam terminologi Quran mereka adalah perpaduan Firaun, Qarun, Balam (teknokrat), dan Haman (intelektual), demikian istilah yang  digunakan Dimitri Mahayana dalam Berhala Globalisme. Mereka menciptakan sistem dominasi untuk mengeksploitasi sumber daya alam negara-negara lain.



Globalisme bisa jadi adalah sebentuk tirani. Fidel Castro pernah mengemukakan dengan lantang bahwa “The United States tyrannizes and pillages the globalized world with its political, economic, technological, and military might”. Faktanya, jika suatu negara tidak bisa ditaklukkan atau dijinakkan dengan kekuatan ekonomi dan politik, jalan terakhir adalah kekuatan militer (lihat kasus di timur tengah).



Homogenisasi, penyeragaman yang inheren dalam budaya globalisme boleh jadi sebentuk tirani. Setidaknya tirani psikologis atau tirani pemikiran. Meskipun terkesan hiperbolik, atau lebih tepatnya cara pandang globalisme telah menghegemoni kita. Efek lebih jauh dari sebuah hegemoni adalah membuat pihak-pihak yang terhegemoni rendah rasa percaya diri, bermental budak, dan cenderung menganggap apa pun yang berasal dari yang menghegemoninya adalah sesuatu yang baik yang harus ditiru dan digugu alias latah.



Semakin maraknya standar-standar global, standar-standar kompetensi, pengukuran indeks-indeks , dan ranking-ranking adalah upaya-upaya peningkatan kualitas dan standardisasi global. Hal ini sebagai prakondisi proses produksi dan integrasi global. Meskipun hal ini tidak fair. Saya sering bergurau, apa perbedaan mendasar antara Cambridge dan Universitas di Makassar? Ini jelas tidak mangga dengan mangga, satunya sudah ada abad yang lalu sedangkan UNM misalnya baru kemarin dapat akreditasi A. Akreditasi A (unggul) sudah pasti beda dengan unggulnya yang dipahami sebagai unggul yang sebenarnya. Misalnya para dosen “dipaksa” membuat jurnal internasional dengan level-level pembayaran yang bertingkat. Yang tak jarang membuat para dosen/peneliti lebih sibuk mengurusi administrasi penelitian daripada isi dan substansi penelitan itu sendiri. Tapi sebagai tahap awal okelah, dimana kita ‘dipaksa’ berlomba dengan mereka yang sudah lari duluan. Kita butuh tenaga ekstra kalau perlu konsumsi doping.



Standar-standar kompetensi yang kini marak dikampanyekan. Menjamurnya institusi-institusi penjamin standardisasi, baik swasta maupun milik pemerintah. Kehadiran institusi-institusi penjamin standar menyerupai massifnya lembaga-lmbaga survey dan pemeringkat kualitas bidang tertentu. Ia seperti sebuah industri tersendiri. Semua diupayakan demi dalih meningkatkan kualitas dan produktivitas. Faktanya, Mari kita cek, berapa banyak guru dan dosen yang sudah lulus uji kompetensi (sertifikasi) benar-benar kompeten dan mampu merangsang minat belajar siswa atau mahasiswa? Jawabannya ada di ruang batin kita masing-masing. Berapa banyak universitas, sekolah tinggi, dan progran studi yang berakreditasi unggul, tapi belum memenuhi standar minimal pelayanan konsumen (mahasiswa) dan juga civitas akademika. Inilah salah tantangan dalam perbaikan di bidang institusi (kelembagaan).



Tentang institusi, setidaknya ada tiga hal yang patut diperhatikan menurut North, yaitu formal rule, informal rule, dan force rule. Formal rule berkaitan dengan aturan-aturan formal yang tertulis. Informal rule berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan budaya dalam suatu organisasi/lembaga, termasuk dalam hal ini adalah “pamali”, yang umumnya tidak tertulis tapi disepakati atau diyakini untuk ditatati. Force rule, berkaitan dengan mekanisme reward and punishment untuk menegakkan aturan-aturan. Jika ketiga variabel institusi belum disatupadankan maka wajar-wajar saja kita masih tergolong ‘poor’. Sinkronisasi ketiga hal di atas akan menciptakan kualitas unggul dan akhirnya produktivitas dan inovasi. Namun yang paling adalah perubahan dan transformasi perilaku.



Saya meyakini bahwa tindakan atau perbuatan adalah refleksi dari pengetahuan kita. Kebiasaan konsumtif masyarakat, bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Iklan melalui berbagai media, pada berbagai saluran teknologi, bahkan setiap kedipan mata berseliweran iklan-iklan menjajakan produk untuk dibeli, beli, dan beli. Watak utama iklan adalah, mengubah desire menjadi seolah-olah needs. Watak tersebut membentuk mental. Mental konsumerisme adalah bentukan pasar, lebih tepatnya pelaku pasar yang kalah oleh mekanisme supply and demand. Pasar secara ekstrim hanyalah supply and demand, kalau kita bukan produsen, maka kita sudah pasti konsumen. Hanya rantai nilainya saja yang kadang panjang dan berbelit, sebagaimana birokrasi yang kompleks. Kini, Interaksi produsen dan konsumen bergeser lebih singkat dan praktis karena kemajuan pemikiran dan kebudayaan manusia melalui teknologi.



Teknologi menghadirkan cara baru berinteraksi. Teknologi adalah proses berkebudayaan. Ia melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru, kebiasaan ini lama kelamaan akan menjadi tradisi dan akhirnya terbentuklah kepribadian. Kepribadian yang menular dan massif akan menciptakan budaya komunitas. Dalam mode produksi kapitalisme lanjut pun mengalami perubahan, entah karena perubahan dari dalam atau perubahan dari luar. Disrupsi, yaa hampir semua sisi kehidupan terdisrupsi oleh kamajuan teknologi. Dalih utamanya semua untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kehidupan.



Dalih efektifitas dan efisiensi kadang seperti bahasa langit yang sulit membumi. Kenapa prinsip dalam ekonomi tersebut teramat sulit untuk dibudayakan. Meskipun ia diklaim sebagai nilai kapitalisme. Tetapi jauh sebelum cara pandang kapitalisme atau liberalisme ekonomi mendominasi kampus-kampus kita, pendahulu kita sangat piawai memerankan hidup dengan efektif dan efisien. Efisien dalam artian tidak boros, efektif dalam arti memanfaatkan semua sumber daya secara penuh untuk mencapai hasil optimal. Atau sederhananya hiduplah secara produktif. Barang siapa yang hidupnya lebih baik dari hati kemarin maka ia adalah orang beruntung, jika sama ia rugi, dan jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin, ia celaka. Ini adalah doktrin-doktrin produktifitas. Doktrin lainnya, manfaatkanlah masa mudamu sebelum datang masa tuamu, manfaatkan sehatmu sebelum sakit. Dan, doktrin yang paling monumental adalah Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau bukan ia sendiri yang berusaha merubahnya.



Dalih dan doktrin di atas belum sepenuhnya terserap pada setiap batin-batin kita, termasuk penulis. Kata-kata belum searah dengan aksi, taro ada taro gau masih sebatas slogan, satunya kata dan perbuatan masih sekadar lipsing. Pengetahuan belum menjadi ‘pengetahuan seutuhnya’ yang mewujud dalam setiap tindakan. Pengetahuan kita masih sebatas ceceran-ceceran kata-kata yang hampa nilai “mistis”, nilai yang mampu menggerakkan para penganutnya.



Secara hiperbolik saya ingin menyebutkan setiap kata atau istilah adalah pesan-pesan ideologis. Ideologi dalam pandangan Murtadha Mutahhari adalah sesuatu yang menggerakkan para pengikutnya, sesuatu yang mampu mentransformasikan diri para pendukungnya. Bukan Ideologi sebagaimana yang dipahami Marx  sebagai sesuatu yang datangnya eksternal, ilusif dan melahirkan kesadaran palsu. Ia adalah sesuatu yang inheren dalam diri setiap orang, makanya tindakan setiap orang tidak sama, karena kamampuan dan bakatnya untuk mengeksplorasi cara pandangnya yang berbeda. Mindset bisa jadi kata lain untuk menggambarkannya, ia bukan sekadar alam ide, ia adalah aksi sekaligus. Oleh karena setiap kita berbeda, maka biarkanlah setiap orang, daerah, negara benar-benar bebas mengelola dirinya sendiri berdasarkan local genius masing-masing. Teori-teori ekonomi yang sukses di eropa dengan keadaan geografis serba dataran, kondisi ruang dan budaya yang berbeda sudah bisa dipastikan gagal diterapkan di negara kepulauan. Rumus sederhanya ATM (Amati Tiru dan Modifikasi) bukan sekadar copy paste kebijakan negara maju ke negara berkembang. Salah satu ciri negara berkembang atau terbelakang dapat dilihat pada saat macet, atau perempatan lampu merah. Itulah cerminan paling kasat mata suatu masyarakat yang terbelakang.



Upaya menstrukturisasi dan menyeragamkan cara pandang terhadap apa pun justru membuat hidup kadang tidak produktif. Jika tidak produktif tidak inovatif. Justru doktrin kebebasan untuk berbedalah yang kerap memicu produktifitas. Berpikirlah bebas niscaya kamu akan menemukan dirimu dna Tuhanmu. Kira-kira demikian pelajaran dari kasus Nabi Ibrahim dalam pencarian Tuhannya. Setiap individu diberikan jatah sumber daya waktu yang sama 24 jam/hari tetapi sungguh masih banyak yang lalai dengan waktunya masing-masing. Mengapa kampus atau sekolah, institusi pendidikan atau pemerintah di negara kita pada umumnya tidak produktif? Bisajadi karena, kita tidak terbiasa dengan tradisi-tradisi yang berbeda dengan kebiasaan kita. Inginnya itu-itu saja, yang penting damai. Keberagaman memicu dialektika, dialektika dapat merangsang nalar, asalkan tidak baper. Bukankah pelangi indah karena warna-warninya.



Upaya memenuhi kebutuhan (upaya ekonomi) adalah juga proses berkebudayaan maka seluruh standar-standar yang telah menjadi kesadaran massif, mungkin perlu didekonstruksi. Misalnya, kenapa definisi standar kemiskinan tidak ada yang sama, bahkan banyak versi, ada versi konsumsi 2$, 1200 kkalori per hari, dll? Karena sejatinya kemiskinan ataupun kesejahteraan adalah persepsi personal yang coba distandardisasi. Standar-standar umum atau (katanya objektif) dicoba dipadupadankan dengan standar subjektif. Sudah pasti ada konflik dan distorsi. Upaya mendorong ukuran kesejahteraan berbasis komunitas perlu senantiasa digelorakan. Standar kesejahteraan warga pantai, dataran rendah, dan dataran tinggi, kota-desa umumnya beda.



Von Mises mendefinisikan ekonomi sebagai logika tindakan. Alat analisisnya disebut Praxiology. Dalam logika tindakan terdapat tiga hal; alat, cara, dan tujuan. Besi orang Papua, besi dapat dijadikan tombak atau mata panah, bagi Amerika bagus dibuat senjata. Kedua alat tersebut dapat dijadikan media untuk membunuh, tapi caranya sudah tentu beda. Demikian pula jika kita ingin makan, sejahtera, lulus kuliah, sarjana dst. Tujuannya bisa sama, tapi alat dan caranya berbeda. Logika tindakan ini menyiratkan keberagaman cara untuk mencapai tujuan. Dalam cara pandang demikian pengikut Mises, Mazhab Austria menolak cara pandang John Locke yang emipiris, yang pada perkembangan mutakhirnya ‘menuhankan’ data-data statistik. Dampaknya cara pandang tersebut mereduksi kenyataan.



Keterasingan diri memahami logika tindakan kita masing-masing berdampak pada rendahnya produktivitas dan inovasi. Kenapa rendah? Karena dalam logika tindakan terdapat aksi dan refleksi. Apa yang telah dilakukan akan direfleksikan secara berkesinambungan, ada perbaikan secara terus menerus dan berkelanjutan. Sehingga kebiasaan meniru-niru dan latah tidak menjadi kebiasaan kita. Misalnya, ketika seorang Photografer berhasil mempopulerkan wisata “Negeri di atas Awan” di Toraja Utara, hingga menjadi objek wisata alternatif. Daerah lain pun ketularan mengekpose tempat-tempat yang serupa. Kebiasaan latah pun merebak pada hampir semua hal. Latah tentang #Hastag, latah tentang #pilpres, dan lain-lain latah boleh jadi adalah budaya orang-orang/komunitas yang malas bernalar dan berkontemplasi.



Saya tidak tahu harus mengakhiri bagaimana tulisan ini. Banyak pihak yang menginspirasi tulisan ini, WAG literasi Bantaeng, anak-anak Praxis_Comm, Mutahhari, Marx, Mises, mahasiswa Ekonomi Pembangunan UNM, dll. Namun pemicunya adalah buku Escobar Encountering Development. Pembangunan, pernah menjadi anak emas di negeri ini, di era Suharto, para teknokrat pembangunan melesatkan ide-idenya dalam penerapan pembangunan oleh “Bapak Pembangunan”, namun saya tidak tahu siapa “anak Pembangunan”. Para kritikus sosial pun mengkritik dan bahkan mencibir “Pembangunan” sebagai biang kerok kerusakan alam, penggusuran, ketimpangan, dll. Kalau pernyataan ini diterima, semakin nyata kalau kata memang adalah senjata. Oleh karena itu untuk menimpali cibiran ‘pembangunan’. Menarik merenungkan ungkapan Armatya Sen, Pembangunan adalah pembebasan, Pembangunan harusnya membahagiakan. Nah, apakah Anda sudah bebas dan bahagia?







 Sumber gambar: iebschool





@alamyin, dimuat pertama kali di Kalaliterasi.com