Selayang Pandang Spirit Pelaut Makassar
Diktum The survival of the fittes dalam
referensi teori evolusi mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan spirit para
petarung, semangat para pelaut ulung menaklukkan derasnya ombak dan ganasnya
gelombang dengan tetap menjaga harmoni (Syamsu Alam:2012). Itulah penggambaran
semangat para pelaut Bugis-Makassar menjelajahi samudera sebagaimana yang
terekam dalam sejarah. Pada abad ke-14-17,
dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil
membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang
besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan Islam,
mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB,
Maluku, Brunei, Papua dan Australia bagian utara Mereka menjalin Traktat dengan
Bali, kerjasama dengan Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan
lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis).
Spirit yang sama juga
tergambar dalam kearifan ”Resopa temmangingi, matinulu, namalomo naletei
pammase Dewata sewwa-E.” Begitulah
pesan tetua Bugis-Makassar kepada anak cucunya. Bahwa ”Rahmat berupa kesejahteraan
dari Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa diraih melalui kerja keras, gigih, dan
ulet”. Bagi warga Bugis-Makassar, semangat kerja keras yang biasa dilafalkan
sebagai “makkareso” “akkareso” tak hanya
diwujudkan dalam bentuk bekerja ulet di tanah kelahiran atau di kampung asal
untuk bertahan hidup, di mana saja, semangat itu dikobarkan. Namun, lazimnya,
kutipan pesan itu diucapkan para tetua kepada anak-anak muda yang meminta restu
untuk sompe’ atau merantau.
Istilah
Bugis dan Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah. Hingga pada
akhirnya kejatuhan Kerajaan Makassar pada Belanda menyebabkan segala potensi
dimatikan, mengingat suku ini terkenal sangat keras menentang Belanda. Di mana
pun mereka bertemu Belanda, pasti diperanginya. Beberapa tokoh sentral Gowa
yang menolak menyerah seperti Karaeng
Galesong, hijrah ke Tanah Jawa. Bersama armada lautnya
yang perkasa, memerangi setiap kapal Belanda yang mereka temui. Oleh karena
itu, Belanda yang saat itu dibawah pimpinan Spellman
menjulukinya dengan "Si-Bajak-Laut".
Orang Bugis-Makassar yang tinggal di desa-desa daerah pantai
bermata pencaharian mencari ikan. Mereka akrab dengan laut dan berani
mengarungi lautan luas. Mereka menangkap ikan sampai jauh ke laut hanya dengan
perahu-perahu layar. Dengan perahu layar dari tipe pinisi dan lambo, Orang
Bugis-Makassar mengarungi perairan nusantara sampai Srilanka dan Filipina.
Mereka merupakan suku bangsa Indonesia yang telah mengembangkan kebudayaan maritim
sejak abad ke-17. Orang Bugis-Makassar juga telah mewarisi hukum niaga
pelayaran. Hukum ini disebut Ade’allopiloping Bicaranna Pabbalue ditulis oleh
Amanna Gappa pada lontar abad ke-17. Sambil berlayar orang Bugis-Makassar
mengembangkan perdagangan ke berbagai tempat di Indonesia.
Berbagai jenis binatang laut ditangkap dan
diperdagangkan. Teripang dan holothurioidea (sejenis binatang laut) ditangkap
di kepulauan Tanibar, Irian Jaya, bahkan sampai ke Australia untuk dijual kepada tengkulak. Melalui tengkulak
binatang laut ini diekspor ke Cina. Mulai abad ke- 19 sampai abad ke-20 ekspor
teripang sangat maju.
Menurut
Darwis Semangat survival orang Bugis-Makassar di tanah rantau, , juga tak lepas
dari sistem sosial-budaya yang lekat dengan hierarki (kasta), yakni Karaeng/arung
(bangsawan/juragan) dan ata (hamba/orang kebanyakan). Bagi orang kebanyakan
yang ingin bebas dari sistem itu atau setidaknya ingin naik kelas sosial,
merantau adalah salah satu pilihan. Tali-temali dengan mobilitas vertikal, Prof Halide, menekankannya pada aspek
ekonomi. ”Peningkatan taraf hidup seseorang berbanding lurus dengan strata
sosial yang disandangnya,”.
Wilayah
pesisir dan laut merupakan bagian wilayah daerah yang memiliki sumberdaya alam
yang sangat potensial dan prospektif untuk menjadi akselerator pembangunan
perekonomian daerah jika dikelola dengan baik dan optimum. Sebagai wilayah yang
strategis, wilayah pesisir merupakan suatu zona yang diperuntukkan untuk
berbagai aktivitas manusia baik secara sosial, kultural, ekonomi, industri
maupun pemanfaatan secara langsung.
Sulawesi
Selatan khususnya Makassar sebagai penghubung yang menautkan antara Indonesia
bagian barat dan Indonesia bagian timur yang menyebabkan fungsi logistik,
fungsi transportasi, dan fungsi perdagangan saling berpengaruh. Pelabuhan dan
bandara yang memadai menjadikan potensi kota ini makin terasa secara optimal.
Selain itu, sistem yang terjalin dari turun temurun penting diperhatikan untuk
memahami lebih dalam tentang masyarakat pesisir.
Paper
sederhana ini hendak memotret sistem sosial budaya masyarakat pesisir Makassar
sebagai masyarakat maritim yang tangguh yang pernah terekam dalam sejarah dan
pergeseran yang terjadi akibat perkembangan zaman.
(Bagian A. Pendahuluan Paper Ekonomi Maritim, Syamsu Alam | alamyin@gmail.com)