Biaya Eksternalitas dan Abu Nawas. Seorang pria miskin, sebut saja namanya Abu Nawas. Ia bertetangga dengan keluarga kaya raya dan kurus. pada suatu hari, Abu Nawas ngerumpi di warung kopi bersama teman-temannya. Melihat perawakan Abu Nawas yang semakin tambun (gemuk) mengundang tanya koleganya. Hai, Abu, apa rahasia kamu sehingga kamu semakin gemuk ? tanya teman Abu Nawas. Tidak ada rahasia untuk kelian semua. Kontribusi tetangga saya yang kaya raya yang menjadikan saya seperti ini, setiap hari membuat masakan yang sedap dan aromanya senantiasa meliputi ruangan dirumah saya, sehingga walaupun masakan saya sederhana dan tidak beraroma sedap namun aroma masakan tetangga cukup menambah selera makan. Sehingga saya pun bisa makan seperti yang dinikmati tetangga saya.
Berita ini pun menyebar ke seluruh kota hingga ke rumah tetangga Abu Nawas yang kaya raya. Abu Nawas pun di tuntut ganti rugi oleh orang kaya tersebut, ia harus membayar atas aroma yang telah dia nikmati. Dalam persidangan Abu Nawas tidak melakukan pembelaan dan siap mengganti (mengkompensasi) aroma yang telah dia nikmati. Tapi sebelum hakim, penuntut dan hadirin persidangan meninggalkan ruangan sidang. Abu Nawas mengeluarkan beberapa uang koin dari kantongnya dan meminta agar orang kaya tersebut mendengarkan gemerincing uang koinnya dengan seksama dan khusyu sebagai kompensasi atas aroma masakannya. :)
Cerita Abu Nawas di atas, adalah contoh paling sederhana konsep eksternalitas. dalam ekonomi, eksternalitas terjadi bila aktivitas seorang pelaku ekonomi mempengaruhi aktivitas pelaku ekonomi yang lain, namun pengaruhnya tidak terefleksikan pada transaksi di pasar. Misalnya, Pabrik bahan kimia mengeluarkan bahan beracun, Kebisingan lalu lintas pesawat di bandara, Limbah industri yang mengotori sungai dan perikanan disekitarnya. Eksternalitas bisa positif, kadang pula negatif. Ia positif jika saling menguntungkan, misalnya petani Apel berdekatan dengan Peternak lebah. Sedangkan Eksternalitas negatif, dapat dicontohkan dengan industri baja dengan petani tambak. Berkaitan dengan eksternalitas kedua, maka peran pemerintah sebagai mediator yang baik jujur dan adil sangat diperlukan. Dalam banyak kasus peran pemerintah dalam penyelsaian kasus eksternalitas negatif kurang mampu menjadi mediator yang elegan, alih-alih memberikan solusi justru malah memperparah keadaan. Contoh yang paling dekat adalah kasus lumpur Lapindo. Belum lagi kalau eksternalitas berkaitan dengan barang publik, maka kondisi semakin kompleks.
Namun, bagaimana dengan kasus Abu Nawas di atas, silahkan nilai sendiri. Tulisan sederhana ini juga mencoba menyentil salah satu buku yang yang dalam bagian tertentu membahas tentang eksternalitas. Dalam buku Radikal Itu Menjual, Karya Joseph Heat dan Andrew Potter meruntuhkan mitos tentang radikalitas gaya hidup (terjemahan dari Rebell Sell).
Mereka memberi argumen bahwa “budaya-tanding” atau hasrat melawan arus, berbeda, untuk menjalani hidup alternatif, justru merupakan kekuatan utama pendorong kapitalisme dan konsumerisme kontemporer. Ide bahwa pemberontakan gaya hidup individual akan bisa mengguncang “sistem” justru telah semakin memapankan masyarakat konsumen yang hendak ditentangnya sendiri itu. Lebih parah lagi, ide-ide budaya-tanding juga telah mempengaruhi politik progresif dan memelencengkannya dari cita-cita awal memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Dicontohkan bahwa kampanye aktivis penentang Industri minyak, pertambangan dan semcamnya sia-sia, tidak efektif dan hanya buang-buang waktu. Menurut mereka, akan lebih baik juga para pencemar lingkungan membayar "BIAYA POLUSI". Biaya polusi sudah diterapkan oleh beberapa negara, bahkan penghitungan polusi emisi karbon sudah ada ketentuan angka-angkanya, dan rumus untuk menghitung biaya eksternalitas negatif (biaya polusi). Salah satunya yang ditawarkan oleh ekonom, diantaranya adalah Inovasi penting terkait Pigouvian taxation adalah gagasan tentang “pollution rights”. Misalkan perusahaan x dapat membeli hak polusi kepada perusahaan y. Pilihan x untuk membeli hak tersebut identik dengan pilihan jumlah output yang akan diproduksi. Lagi..lagi.. peran pemerintah melalui AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) diharapkan berperan dengan baik. Dan diperlukan keberpihakan pada publik, jika ia bersentuhan dengan barang Publik. Jika tidak, maka apa gunanya kita bernegara jika pemerintah tidak bisa melindungi warganya ? apa gunanya konstitusi jika tidak dipatuhi ?.
Berita ini pun menyebar ke seluruh kota hingga ke rumah tetangga Abu Nawas yang kaya raya. Abu Nawas pun di tuntut ganti rugi oleh orang kaya tersebut, ia harus membayar atas aroma yang telah dia nikmati. Dalam persidangan Abu Nawas tidak melakukan pembelaan dan siap mengganti (mengkompensasi) aroma yang telah dia nikmati. Tapi sebelum hakim, penuntut dan hadirin persidangan meninggalkan ruangan sidang. Abu Nawas mengeluarkan beberapa uang koin dari kantongnya dan meminta agar orang kaya tersebut mendengarkan gemerincing uang koinnya dengan seksama dan khusyu sebagai kompensasi atas aroma masakannya. :)
Cerita Abu Nawas di atas, adalah contoh paling sederhana konsep eksternalitas. dalam ekonomi, eksternalitas terjadi bila aktivitas seorang pelaku ekonomi mempengaruhi aktivitas pelaku ekonomi yang lain, namun pengaruhnya tidak terefleksikan pada transaksi di pasar. Misalnya, Pabrik bahan kimia mengeluarkan bahan beracun, Kebisingan lalu lintas pesawat di bandara, Limbah industri yang mengotori sungai dan perikanan disekitarnya. Eksternalitas bisa positif, kadang pula negatif. Ia positif jika saling menguntungkan, misalnya petani Apel berdekatan dengan Peternak lebah. Sedangkan Eksternalitas negatif, dapat dicontohkan dengan industri baja dengan petani tambak. Berkaitan dengan eksternalitas kedua, maka peran pemerintah sebagai mediator yang baik jujur dan adil sangat diperlukan. Dalam banyak kasus peran pemerintah dalam penyelsaian kasus eksternalitas negatif kurang mampu menjadi mediator yang elegan, alih-alih memberikan solusi justru malah memperparah keadaan. Contoh yang paling dekat adalah kasus lumpur Lapindo. Belum lagi kalau eksternalitas berkaitan dengan barang publik, maka kondisi semakin kompleks.
Namun, bagaimana dengan kasus Abu Nawas di atas, silahkan nilai sendiri. Tulisan sederhana ini juga mencoba menyentil salah satu buku yang yang dalam bagian tertentu membahas tentang eksternalitas. Dalam buku Radikal Itu Menjual, Karya Joseph Heat dan Andrew Potter meruntuhkan mitos tentang radikalitas gaya hidup (terjemahan dari Rebell Sell).
Mereka memberi argumen bahwa “budaya-tanding” atau hasrat melawan arus, berbeda, untuk menjalani hidup alternatif, justru merupakan kekuatan utama pendorong kapitalisme dan konsumerisme kontemporer. Ide bahwa pemberontakan gaya hidup individual akan bisa mengguncang “sistem” justru telah semakin memapankan masyarakat konsumen yang hendak ditentangnya sendiri itu. Lebih parah lagi, ide-ide budaya-tanding juga telah mempengaruhi politik progresif dan memelencengkannya dari cita-cita awal memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Dicontohkan bahwa kampanye aktivis penentang Industri minyak, pertambangan dan semcamnya sia-sia, tidak efektif dan hanya buang-buang waktu. Menurut mereka, akan lebih baik juga para pencemar lingkungan membayar "BIAYA POLUSI". Biaya polusi sudah diterapkan oleh beberapa negara, bahkan penghitungan polusi emisi karbon sudah ada ketentuan angka-angkanya, dan rumus untuk menghitung biaya eksternalitas negatif (biaya polusi). Salah satunya yang ditawarkan oleh ekonom, diantaranya adalah Inovasi penting terkait Pigouvian taxation adalah gagasan tentang “pollution rights”. Misalkan perusahaan x dapat membeli hak polusi kepada perusahaan y. Pilihan x untuk membeli hak tersebut identik dengan pilihan jumlah output yang akan diproduksi. Lagi..lagi.. peran pemerintah melalui AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) diharapkan berperan dengan baik. Dan diperlukan keberpihakan pada publik, jika ia bersentuhan dengan barang Publik. Jika tidak, maka apa gunanya kita bernegara jika pemerintah tidak bisa melindungi warganya ? apa gunanya konstitusi jika tidak dipatuhi ?.
(Inspirasi Abu Nawas dari Pak Agus, Biaya polusi dari prof. Rahmatia, Dosen Ekonomi Unhas Mks)
Sumber Gambar:
Sumber Gambar:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVhS5BGrS7ABxLBzZJuQSSDP9-rcETdzApp-U868Q9ytlYyC10bCDzZ2aazeGD1HZuUtsT2JN95pH1wmgWZlbSUbe06Nbf9ahYU5xYWUPhBpavsXCg_4WdFSMqbyYBd4ozr49kq8cEqdE/s1600/Abu_Nuwas.jpg