Konten Porno dan Lokalisasi

Konten Porno dan Lokalisasi, Bulan lalu, salah satu koran lokal di Makassar mempublikasikan hasil pencarian di search engine dengan key word “porno” “porn” “naked” dan sejenisnya, masih menempati rating tertinggi. Kemarin di website teman yang menerapkan konten autoblog, dimana blognya akan terupdate tiap satu jam dan menampilkan postingan baru website yang dijadikan backlink dengan webnya. Di web tersebut, menampilkan berita terupdate 2012, berita terbaru 2012 dan berita terpopuler 2012.
 Web site yang baru berusia dua bulan tersebut mampu menyedot hampir 50 ribu visitor perharinya. Menjelajah lebih jauh dalam situs tersebut, saya menemukan adalah daftar pencarian berita terupdate/terbaru/terpopuler adalah keluarga keyword “porn” dan “naked”. Kenapa keyword tersebut yang paling dominan disearch oleh pengguna internet ?. Salah satu jawaban sederhananya karena menggoda, menyenangkan, bisa mendatangkan kenikmatan.Dan dunia maya menyediakannya dan dapat diakses dengan mudah, semudah membalikkan telapak tangan. 


Alasan lain yang masih perlu pengujian teoritis dan empiris lebih jauh adalah :), mungkin para pengakses keyword tersebut menganggap bahwa tidak ada yang melihatnya. Dia hanya berhadapan benda mati, layar datar yang tidak akan mengekspose aktifitasnya ke ruang publik. Banyak upaya yang telah dilakukan untuk membatasi akses konten porno. Pemerintah membuat regulasi, Agamawan dan moralis senantiasa menyampaikan pesan moral, psikolog dan pendidik melakukan kampanye bahaya konten-konten yang dimaksud diatas, rasia mendadak yang dilakukan polisi ke warnet-warnet, pihak penyedia layanan akses internet (provider) dan masih banyak lagi ormas, organ-organ(isasi) yang menyerukan bahaya dari konten porno. Namun, upaya tersebut hampir bisa dikatakan nihil, walaupun ada juga yang berhasil meredam dan mengontrol hasratnya.


Apa yang salah dengan dengan penanganan konten yang selalu menggoda para pengunjung dunia maya ?. Ayo kita melihat cermin, demikian saran V dalam film Vee for Vendetta. Sejauh yang penulis lihat, bahkan tak jarang oknum-oknum di institusi-institusi yang dianggap sebagai “benteng moral” justru kerap melakukan perburuan dan mengoleksinya. Bahkan menjadi pembicaraan yang sangat menarik dan menggairahkan di kantor-kantor swasta maupun pemerintahan. Terlebih lagi jika ada sales yang sedikit seksi, yang berkunjung ke kantor-kantor tersebut. Maka bisa diterka, ada saja beberapa om-om genit yang coba menggombalnya.


Bang Rhoma, dalam lantunan lagunya juga pernah bertanya-tanya “kenapa semua yang asik-asik itu yang di larang ?”. Maaf, bang Haji, kapasitas saya belum mumpuni menjawab pertanyaannya :). Tapi, mungkin ini adalah era pemujaan kenikmatan, dimana kesenangan di atas segala-galanya, dan konten porno punya attracting yang kuat untuk mensinkronisasi hasrat manusia dengan konten yang banyak diminati pengunjung di dunia maya.
Namun, kalau diperhatikan lebih seksama dan sedikit kritis, bukan hanya situs yang benar-benar “porn” yang demikian, iklan-iklan yang katanya tidak memuat konten 'porno' kadang menggunakan gaya ala “konten porno” untuk menggoda konsumen. Kalau tidak dengan tampilan visual, mungkin dengan kata (audio) yang mampu membangkitkan gairah konsumen. Karena pada prinsipnya semua bisa jadi komoditi, semua bisa diperjual belikan, dan apapun medianya yang penting konsumen bisa tergoda untuk belanja. Visitor bisa mengunjungi website kita dan bla bla bla...


Barangkali menarik menelisik pendapat Michael A. Lebowitz. Ia mengatakan bahwa penjelasan paling baik tentang konsep Pemujaan Komoditi, dikemukakan oleh artis Wallace Shawn, seorang aktor dan penulis AS. Dalam pementasannya berjudul “The Fever,” Shawn sebagai sang protagonis, suatu ketika menemukan Capital dan mulai membacanya pada suatu malam. Dari bacaan terhadap Capital itu, Shawn lantas mengatakan, Saya tiba pada frase yang telah saya dengar sebelumnya, sesuatu yang asing, menjengkelkan, urutan frase singkat yang buruk: itulah seksi tentang “pemujaan komoditi,” "komoditi yang diberhalakan." Saya ingin memahami frase yang terdengar aneh ini, tapi harus saya katakan, untuk memahami hal itu, seluruh kehidupan anda mungkin saja akan berubah.


Menurut Schmitt, pemujaan dalam dunia modern telah berpindah dari agama menuju ekonomi. Struktur masyarakat kapitalis, pembagian kerja, distribusi sumberdaya biasanya tidak dianggap sebagai hasil dari pilihan manusia tapi oleh kekuatan pasar yang impersonal. Umat manusia, sebagian besar, tidak berdaya untuk mengubah masyarakat yang ada karena mekanisme pasar tidak berada di bawah kontrol mereka. Para teoritikus saat ini menambahkan, usaha untuk mengontrol kekuatan pasar, selalu berakhir dengan kegagalan luar biasa. Barangkali inilah salash satu penjelasan kenapa upaya pemerintah, institusi penjaga benteng “moral” kerap gagal menangani penyalahgunaan kemajuan teknologi.
Salah satu dosen saya pernah berujar dalam ruang kelas, ia pecinta keindahan yang diabdikannya dalam jepretan kamera kesukaannya. Kami menyapanya dengan Pak Tadju. Kurang lebih Ia mengatakan, terjadinya perbuatan dosa, penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat orang-orang berTuhan, disebabkan karena mereka melokalisasi Tuhan, Tuhan dianggapnya hanya melihat dan memantaunya ketika berada di Masjid (tempat-tempat ibadah lainnya). Dan boleh jadi kesenangan mengakses konten porno oleh sebagian besar pengguna internet karena merasa sendiri dan tidak ada yang melihatnya. Jadi baik penguasa yang senang menyalahgunaan jabatan, punya kesamaan dengan pengakses konten porno, yaitu sama-sama "melokalisasi tuhan"